[Cerita Pendek] Percakapan Jam 2 Malam

Gambar oleh Kai Pilger dari Pexels

Malam ini terlalu hening untuk dihabiskan seorang diri. Allie menyalakan TV sambil menenggak Pinot-nya entah yang keberapa kali. Ia melirik benda bulat yang berdetak di dinding. Jam 2 malam. Beberapa kali tangannya memencet remote untuk mengganti siaran, tapi kebanyakan siaran hanya menayangkan berita, atau talk show yang kurang menarik minatnya. Putus asa, ia pun mematikan TV.

Sekali lagi ia menenggak cairan putih di gelas wine-nya. Kali ini hingga habis.

Suasana jadi hening kembali. Allie baru hendak berdiri membawa gelas-nya ke pantry hingga sesuatu menahannya. Sesuatu itu ialah suara tiga kali ketukan di pintu. 

Allie memejamkan mata singkat, kemudian membukanya lagi. Apakah ia terlalu mabuk? 

Tapi Pinot Grigios hanya alkohol dengan persentase rendah yang biasa diminumnya hanya untuk membuat rileks. Bukan mabuk. Apalagi berhalusinasi.

Belum selesai otaknya berpikir, tiga kali ketukan di pintu berbunyi kembali. Kali ini lebih keras. Allie cukup yakin ia tidak sedang berhalusinasi kali ini. 

Ia melirik jam sekali lagi. Benar jam 2. Siapa yang berkunjung di jam tidur seperti ini? Apakah penjahat? Allie bergidik. Tapi buat apa penjahat mengetuk pintu.

Dengan perasaan takut bercampur penasaran, perlahan Allie mengendap-endap menuju pintu rumahnya dan berusaha mengintip tanpa ketahuan dari jendela rumahnya. Namun, dasar ceroboh, atau nasibnya memang kurang bagus, Allie terhuyung dan bahunya membentur pintu dengan cukup pelan.

Namun, orang yang ada di balik pintu pasti bisa mendengarnya, karena tidak lama kemudian muncul suara, "Allie? Kau di sana?"

Ia seperti tercekat. Ed?! Suara berat laki-laki itu membuat jantungnya berdebar keras lagi seperti tahun lalu. 

Allie masih bergeming sampai suara berat dan serak itu berbunyi lagi. "Bisakah kau membukakan pintu?"

Ia tahu tidak seharusnya ia membukakan pintu kepada seseorang jam 2 malam, khususnya kepada laki-laki ini. Namun tanpa bisa dicegah, tangannya tetap bergerak menjangkau grendel pintu. 

Begitu pintu terbuka, Allie sedikit mendongak untuk menatap laki-laki yang agak lebih tinggi darinya itu. Dengan dahi yang selalu menimbulkan kerutan sehingga membuatnya terkesan serius, yang segera menghilang ketika lesung pipi pada senyumnya mengembang begitu melihat Allie, lengkap dengan seringai lebar seperti kucing fantasi di Alice in the Wonderland, itu semua cukup untuk membuat hatinya terasa mencair. 

10 bulan berlalu. Meski mengaku sudah move on, Allie tidak bisa tidak mengatakan bahwa ia sangat rindu pada lelaki ini. Allie tahu ia masih belum sepenuhnya meniadakan perasaannya untuk laki-laki tampan ini. Tiba-tiba Allie merasa marah pada dirinya sendiri.

"Allie..." panggilnya bersamaan dengan hembusan napas lega. Udara dingin malam itu menyebabkan napas tersebut berubah menjadi uap-uap kecil dari mulutnya. Sementara Allie masih tercekat, laki-laki itu melanjutkan sapaannya."Hai," ucap laki-laki di hadapannya. 

Allie menggelengkan kepala dan mulai merasakan kering tenggorokan akibat alkohol. "Apa yang kau lakukan di sini?" Khususnya di depan rumahku saat jam dua pagi, lanjutnya dalam hati.

"Yah," Ia mengangkat bahunya. Melirik ke samping, lalu menatap Allie tepat di manik mata. "Apakah kau akan marah kalau kukatakan aku rindu padamu?"

"Ed, kau yang mengatakan bahwa kita tidak perlu berkomunikasi lagi. 10 bulan yang lalu." Mendadak ia naik pitam.

"Allison…” Degup jantung Allie berdebar lebih cepat saat Ed memanggil namanya dengan penuh. Gadis itu menunggu dengan sabar perkataan Ed selanjutnya. “Kau mau…jalan-jalan denganku?”

Allie menggigit bibir. Lagi-lagi begini. Ia bertindak seakan tidak terjadi apa-apa. Mengatakan berpisah, lalu kembali seenaknya hanya untuk meninggalkannya lagi nanti. 

"Ini jam 2 malam, Ed. Pergilah," pintanya lemah.

"Kumohon."

Allie tahu benar bagaimana ujung hubungan ini, tapi… Mata hijau Ed yang bercahaya sedang menatapnya penuh harap dan tidak bisa membuatnya berkata tidak. Tidak untuk malam ini.

Ada jeda sebelum ia berkata, “Baiklah.” Allie mengembuskan napas, mengangkat kedua tangannya menyerah. “Tapi aku ganti baju dulu.”

“Kenapa? Kau tampak imut dengan gaun tidur ini.”

Pipi gadis itu memerah sesaat. Tapi pasti itu karena efek alkohol yang baru bekerja, bukan karena perkataan Ed barusan.

“Yang benar saja.” Allie menutup pintu tepat di depan wajah Ed dan berjalan menuju kloset. Ia harap gestur tersebut membuat laki-laki itu sadar bahwa dirinya tak diinginkan di sini. 

Tapi… apakah Allie benar-benar tak menginginkannya lagi? 

***

Udara malam New York berembus di seluruh wajah Allie. Ia bisa merasakan pipinya mendingin. Untunglah alkohol tadi menyelamatkan suhu tubuhnya saat ini. Berkendara sambil membuka jendela tengah malam seperti ini sangat menyenangkan.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Allie sambil menoleh pada Ed. 

“Ya?” Laki-laki itu melirik sedikit dari pandangan jalan. “Kau kedingingan? Mau pakai jaketku?”

Ah, sial. Di saat begini, dia masih bisa bertingkah seperti seorang gentleman. Dan yang lebih menyebalkan lagi, dia melakukannya tanpa usaha! Seolah-olah dia memang seorang gentleman secara alamiah dan memperlakukan Allie dengan baik! Padahal…

“Bukan,” sahut Allie sedingin mungkin. Ia menarik napas sekali, lalu berkata, “Bagaimana bisa jalan-jalan denganmu menyelesaikan masalah dan membuatku tidak marah lagi padamu? Setelah semua yang kau katakan dan lakukan padaku?”

Ed bergeming. Seperti setuju dengan pertanyaan Allie dan kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.

“Kau tak bisa menjawab?” tanya Allie sinis.

"Maaf." Ketika mengucapkan satu kata itu, matanya melirik Allie sekilas.

"Maaf?"

“Aku tahu ini bukan kisah cinta yang kau inginkan,” jawabnya singkat. Dan Allie kehabisan kata-kata di sepanjang sisa perjalanan mereka.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, Ed memberhentikan mobilnya di dekat tebing. Dari tebing itu mereka bisa melihat gemerlap kota New York. Ed selalu membawanya ke tempat favorit mereka berdua ini. 

Ed turun dan dengan cepat berputar menuju sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu bagi Allie. Perbuatannya yang seperti ini hanya menyakiti hati Allie lebih dalam lagi. 

Allison Smith… Kenapa kau senang sekali menyakiti dirimu sendiri?

Ed mengajaknya berbincang tentang berbagai hal. Topik tentang kanker ibunya yang masih menyerang, kesibukannya, hingga kabar kucing-kucing peliharaan Allie. Setelah semua topik mengalir, mereka duduk di kursi dekat tebing dalam keheningan. Dan Allie kembali mengingat kemarahannya pada Ed. Hingga beberapa saat kemudian…

“Aku rindu padamu, Al,” ucapnya pelan. 

Gadis di sampingnya menoleh. “Hanya itu?”

Ed tidak menjawab, hanya menoleh kepada Allie dalam-dalam selama sepuluh detik penuh. Lalu dengan yakin, tanpa keraguan, tanpa ada tanda apa pun sebelumnya, ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Allie. 

Ciuman yang ringan. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu lama. Ed hanya menempelkan bibirnya pada bibir Allie. Dan dari sana Allie bisa merasakan hangat, bergerak dari bibir ke seluruh tubuhnya. Ya Tuhan, ia terlalu merindukan Ed sampai sulit untuk tetap memendam amarah padanya.

Setelah menarik dirinya, Ed menjelaskan, “Aku terus memikirkanmu setiap malam, Allie. Dan malam ini adalah puncaknya. Aku pikir aku harus menemuimu. Maka aku datang. Tanpa berharap banyak bahwa kau akan membukakan pintu untukku. Aku hanya datang dan mencoba keberuntunganku.”

Allie tersenyum getir. Dan keberuntungan memang berpihak padanya. Omong-omong, sebenarnya ia juga masih memikirkan Ed. Tapi…

“Lalu, setelah ini bagaimana?” cecarnya penuh kekesalan. Ed selalu hanya memberikan secercah petunjuk, sepotong harapan, tanpa pernah berani mengungkapkan apa yang benar-benar ia inginkan. “Setelah kau bilang memikirkanku kau akan menghilang lagi? Dan sewaktu-waktu saat kau sudah sampai pada puncak kerinduanmu lalu kau datang lagi?”

“Allie…” Ia menjilat bibirnya sekali. Ketika Ed melakukannya maka artinya ia sedang gugup. “Kau tahu aku…”

“…tidak bisa menjanjikan apa pun,” sambung Allie dengan cepat. 

Mata hijau Ed kembali menatap mata biru Allie. “Aku menyukaimu, Allie," jelasnya lagi. "Aku sangat menyukaimu, dan aku menikmati hal-hal yang kita lakukan untuk bersenang-senang. Kita begitu lengkap bersama-sama.”

Tatapan mata Allie masih menyiratkan pesan “Lalu?”, sehingga Ed melanjutkan lagi. “Sekali lagi, aku tahu ini bukan kisah cinta yang kau harapkan.”

Tapi ini justru kisah cinta yang kau inginkan, bukan? Allie merasa lelah mendengar satu kalimat yang dilontarkan Ed itu dari waktu ke waktu.

“Allie, aku akan selalu menyayangimu. Tapi mungkin…” Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan Allie. “… aku tak akan bisa selalu ada di sisimu.”

Allie melemparkan tatapan ke depan dan memandang New York. Langit New York begitu kelam, tapi itu semua tergantikan dengan jutaan titik lampu indah yang memancar dari bawah. Ia menghela napas. 

"Baiklah," ucapnya sambil menutup mata. "Ayo kita nikmati saja momen yang ada sekarang."

Ed mengernyit. Kerutan di dahinya muncul kembali. "Kau yakin?" 

Allie menoleh padanya, tapi kali ini tatapan Allie terasa dingin dan kosong.

"Ya. Tentu." Ia mengangkat kedua bahunya.

***

Ed kembali membukakan Allie pintu mobil. Kali ini mereka berhenti tepat di depan rumah Ed. 

"Kau baik-baik saja?" tanya Ed. "Kau menjadi pendiam di sepanjang perjalanan."

Meski tidak melihatnya langsung, ia sangat yakin pandangan Allie masih menyiratkan rasa dingin seperti tadi. "Rumahmu semakin rapi sejak terakhir kali aku ke sini." Allie mengacuhkannya dan hanya memandang tampak depan rumah Ed.

Ed mengernyit sesaat sebelum menawarkan Allie masuk ke dalam.

Mereka duduk di depan TV dan Ed menyodorkan sekaleng bir untuk Allie. "Hanya ini yang ada di sini."

Allie mengambil kaleng bir tersebut dengan cepat dan menenggaknya hingga habis. 

"Hei, santai saja minumnya," seru Ed. "Kau bisa tersedak."

"Berikan aku satu lagi." Allie menadahkan tangannya. 

Gantian Ed yang menatap tingkah Allie dengan bingung. "Tapi..."

"Kumohon," potong Allie, dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. "Berikan saja padaku."

"Satu lagi saja, ya," tegas Ed. Allie menyambar kaleng itu dengan cepat, lalu menghabiskannya dalam beberapa teguk seperti tadi.

Gadis itu melemparkan kaleng bir kosong ke atas meja dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Sekarang ia sudah bisa sedikit tersenyum. Rasa sakit di dadanya mulai menghilang. Dan kepalanya terasa sangat ringan.

Ed duduk di sampingnya sambil menyesap bir-nya perlahan. Ia melirik gadis di sebelahnya yang mulai tersenyum sendiri dengan tatapan kosong ke depan. 

"Apakah kau begini karena aku?" tanyanya pada gadis itu.

Allie menoleh sambil mengangkat sebelah alisnya. "Jangan terlalu percaya diri." Jari telunjuknya menekan-nekan dahi Ed. "Buat apa aku mabuk gara-gara lelaki brengsek sepertimu? Hah?"

"Tidurlah, Al." Ia menangkap tangan Allie dan mendorongnya pelan untuk bersandar di sofa. Secara otomatis ia melepas jaketnya dan menyelimuti Allie. Tanpa sadar ia menghabiskan sisa malam itu hanya dengan menatap wajah Allie yang tertidur. Wajah wanita yang dicintainya.

Ia baru terbangun ketika seberkas sinar matahari masuk melalui jendela dan menusuk matanya. Ia mengulurkan tangannya untuk memeriksa Allie tanpa menemukan apa-apa. 

Ed bangun dengan terkesiap. Ia pikir ia harus mencari Allie ke dapur, tapi niat itu diurungkannya setelah melihat secarik kertas yang diremas menjadi bola tergeletak di atas meja.

Kali berikutnya kau datang ke rumahku, aku tidak akan membukakan-mu pintu, tulis Allie di kertas itu.

Ed tersenyum tipis seraya menatap tulisan cakar ayam itu. Ia tidak harus mencoba berkunjung lagi malam ini. Masih ada malam-malam berikutnya. Ia akan datang lagi saat jam 2 malam membuatnya tidak dapat tidur karena memikirkan Allison Smith.

-fin-


P.S.: 
Seingatku aku hampir nggak pernah menuliskan kisah cinta yang toxic. Apalagi hubungan yang toxic tapi candu seperti ini, ya. Hahaha. Aku mendapatkan inspirasi dari beberapa lagu. Jadi ini kisah fiksi, ya. Tapi kalau lagunya ternyata bukan fiksi, yaaa aku nggak tau, wkwkwk. I was so immersed in the storyline behind the song that I can write a story out of it. I really hope you like this story just like any other stories I wrote. Sometimes, this kinda love story also exists in real life and this is what I wanna show you this time. :)

Comments

Popular Posts