[Cerita Bersambung] Hospital School - Part 2

Gambar diambil dari sini.

Baca part 1-nya dulu di sini, ya. :)

Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tanganku bergerak membuka satu lemari tinggi hingga menempel ke langit-langit tempat penyimpanan cairan kimia yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Maklumlah. Aku ini hanya petugas Tata Usaha. Laboratorim Kimia memang bukan daerah kekuasaanku. Kalau ruangan Tim Finance yang sunyi bagaikan kuburan, nah itu baru tempatku sering bertandang.

Intinya lemari ini juga aneh. Kalau dibuka dan dilihat dari dalam, lemari ini terlihat lebih tipis dan kecil daripada yang terlihat dari luar. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan di dalamnya. 

Aku memakai sarung tangan lateks sebelum memindah-mindahkan cairan kimia dari lemari. Begini-begini dulunya aku kan juga anak IPA, sebelum akhirnya memutuskan kuliah jurusan Akuntansi. Jadi soal keselamatan remeh-temeh begini tentu aku paham.

Nah, kan. Meski berdebu, ada bagian yang bisa dijadikan pegangan untuk menggeser pintunya. 

Dan dugaanku tepat. Di balik lemari ini memang hanya ada dinding kosong berdebu. Tetapi di bawahnya ada lubang seukuran badan orang kecil dan  terlihat ada tangga menuju ke bawah. 

Aku penasaran ke mana arahnya. Dari atas sini hanya terlihat lantai keramik. 

Perlahan-lahan aku menuruni tangga. Aku sekarang ada di dalam ruangan kecil. Ada banyak peralatan kebersihan di sini. Dan ada pintu dengan kaca kecil tempat aku bisa melihat keluar.

Aku mengambil benda apa pun yang ada di sekelilingku, yakni sapu tinggi, untuk kugunakan sebagai penyamaran. Aku pun mulai berjalan ke luar. 

Sambil pura-pura menyapu (oke, penyamaran sebagai tukang bersih-bersih memang buruk sekali, tapi aku tak punya pilihan!!), aku memperhatikan sekeliling. Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menyebut tempat ini selain bangsal rumah sakit jiwa. Kalau diperhatikan dari dekat, pasien-pasien berbaju putih itu terlihat pucat. Dari ujung bibirnya terlihat seperti busa putih. 

What the heck is this place?

Saking fokusnya aku memperhatikan sekeliling, aku nyaris tidak memperhatikan ketika ada sepasang tangan yang hendak memukulkan tongkat kayu ke kepalaku. 

Itu tadi hanya beberapa detik sebelum aku akhirnya melompat mundur, dan...oh my gosh, itu si bapak janitor! Kini dengan wajah tanpa ekspresi yang jadi lebih terlihat bengis, bahkan jika dibandingkan wajah si jutek Jenny!

Ya Tuhan... Aku bangkit dan berlari ke mana pun sampai aku tidak melihatnya lagi. 

Mendadak aku merasa kehilangan keseimbangan karena lantai di depanku menurun ke bawah. Jatuh sudah tidak terhindarkan. 

Brukk! "Aduh lututku.. Kakiku.. Tanganku.." Ketika meringis, seorang suster gempal berbaju merah muda sudah berdiri menjulang di hadapanku. 

"Kamu siapa?" tanyanya sambil berkacak pinggang. 

"Saya petugas kebersihan baru, Bu," jawabku lancar. Untungnya aku sudah memikirkan kebohongan identitasku sebelum keluar dari ruang kebersihan tadi.

Suster gempal di hadapanku masih belum terlalu percaya, karena dia memperhatikan pakaianku yang berupa kemeja lengan panjang dan celana bahan hitam, yang sangat jauh dari kesan 'petugas kebersihan'.

"S-saya baru mau wawancara, Bu," ucapku lagi, paham dengan isi pikirannya.

"Kamu ikut saya," tegasnya, membuatku menelan ludah dengan susah payah. Apakah ini akhir dari hidupku?

Baru saja aku berdiri, mendadak ada sesosok manusia berbaju putih tersungkur memegang kaki si suster gempal. Matanya melotot seperti akan lompat dari rongganya. Mulutnya mengeluarkan busa putih yang sangat banyak. Badannya bergetar karena kejang. Aku pun ikut merinding saat dia mengucapkan kalimat seperti, "T-thidhaakk mmauhhh la...ghiii... Minuum obhatt."

Pemandangan yang sangat mengerikan, tapi suster gempal menatapnya seperti pemandangan biasa.

"Suster Yati!" teriaknya memanggil rekan kerja, atau mungkin bawahannya. Yang disebut suster Yati datang tergopoh-gopoh. "Borgol lagi dia di ranjangnya. Sudah diberikan obat yang biasanya?"

Suster Yati mengangguk. "Seharusnya sudah."

"Jangan seharusnya. Harus dicatat!" sembur si suster gempal. "Nanti hasilnya tidak bisa dibandingkan dengan percobaan lainnya."

Aku mengangkat alis. Percobaan? Jadi semua pasien di sini adalah korban eksperimen? Tapi siapa yang memiliki ide gila seperti ini?

What the fun?! Baru saja aku akan mengikuti si suster gempal, mendadak si bapak janitor gila tadi muncul di belakang kami. Dia meneriakkan sesuatu yang tidak jelas dan menunjuk-nunjuk padaku. Membuat suster gempal mendelik curiga padaku.

Apa lagi yang bisa kulakukan? Dengan kaki yang sakit aku mulai melangkahkan kaki. Dengan cepat. Lebih cepat. Tidak melihat ke belakang, sementara aku mendengar suara-suara si suster gempal yang menggelegar. Aku berlari sekencang-kencangnya sementara seisi bangsal mulai mengejar-ngejarku.

Bagaimana ini? Satu-satunya tempat aku keluar yang aku tahu ya hanya ruang kesehatan tadi. Aku pun berlari lebih cepat dan mencari tempat persembunyian di salah satu ruangan yang terlihat aman. 

Setelah suara suster gempal menghilang di balik tikungan, aku mulai memandangi sekeliling ruangan yang gelap ini. Perlahan mataku terbiasa dengan tempat gelap dan aku melihat beberapa ranjang rumah sekit di ruangan ini. Sepertinya ini ruangan pasien.

Mataku menangkap garis cahaya berbentuk persegi panjang di dinding. Aku mendekatinya dan dindingnya terasa panas. Ini pasti jendela yang ditutup. Sinar matahari dari luar yang membuatnya memunculkan garis cahaya persegi panjang tadi.

Dengan susah payah aku membongkarnya dan menemukan...jendela!! Syukurlah... Tuhan masih sayang padaku.

Dengan cekatan aku keluar dari jendela. Kalian harus tahu betapa sulitnya berjalan di luar jendela dan mencari pipa paralon untuk turun ke lantai satu. Untungnya soal manjat-memanjat aku juga tidak buruk-buruk amat. Lututku terasa amat lemas ketika kakiku menjejak ke tanah.

Tapi rupanya kesengsaraanku tidak berhenti di sana. Di lapangan parkir, sekitar belasan abang-abang yang biasanya kukenali sebagai tukang ojek di sekitar sekolah berdiri berjajar membentuk pagar agar aku tidak bisa lari. Tapi yang aneh, mareka sama sekali tidak menampilkan ekspresi apa pun. Ketika aku mulai bergerak, mereka juga bergerak, tetapi gerakan mereka seperti zombie.

Sekolah macam apa sih ini?!!

Aku mulai marah. Mendidih sampai ke kepala. Kalau wajahku di foto saat ini, pasti kelihatan sangat bengis dan tidak berbelas kasihan. Tapi aku harus melakukan sesuatu selain marah untuk keluar dari sini. Kugunakan seluruh energi amarahku untuk mendorong, menjotos, dan menendang abang-abang ojek (atau abang-abang zombie) ini.

Antara aku yang terlalu ngamuk atau mereka yang terlalu lemah, lima menit kemudian mereka semua tergeletak di tanah dan aku sudah sampai pintu gerbang. 

Mendadak aku teringat sesuatu. Sherry!! Sahabatku Sherry masih terjebak di gedung sekolah garis miring bangsal rumah sakit eksperimen ini. Aku mengeluarkan ponselku dan menekan-nekan layarnya dengan ganas. 

"Ayo angkat, Sher," ucapku tak sabar, menunggu suara temanku di ujung sana. "Please..."

"Halo, Jane?" Suara temanku akhirnya terdengar, dan nampaknya dia baik-baik saja. "Kok lo nggak balik-balik?"

"Sher. Lo harus cepet keluar dari sekolah itu sekarang juga."

"Hah? Lo ngomong apa sih? Kenapa gue harus keluar?"

"Panjang ceritanya, nanti akan gue ceritain. Tapi gue sekarang nunggu lo di deket gerbang sekolah. Oke?"

"Tapi..." Aku sudah akan meneriakinya sebelum akhirnya Sherry menyerah. "Ah, okelah. Gue temuin lo dulu. Jangan ke mana-mana, ya?"

"Oke-oke. Cepetan!"

"Iyaa! Lo tau sendiri di sini kudu turun tangga."

"Jangan cerita-cerita juga ke yang lain, Sher. Bilang aja lo lagi mau keluar sebentar."

"Beres."

Lima menit kemudian, aku melihat sosok Sherry mendekati gerbang. Ia nampak heran melihat tukang-tukang ojek yang pingsan bergelimpangan di lapangan parkir. 

"Sher! Sini!" teriakku tak sabar.

"Iya, Jane. Lo nggak sabar banget. Itu kenapa tukang-tukang ojek pada tidur di situ?"

"Bukan tidur. Mereka pingsan habis gue tonjok."

Kedua mata bulat milik Sherry makin membulat. 

"Elo?" Aku mengangguk.

"Sendiri?" Aku mengangguk lagi.

"Diem-diem preman juga lo, ya." Sherry terdiam sejenak. "Tapi kenapa lo gebukin mereka?"

Aku yang masih panik berusaha menarik napas dalam. "Sher, ini situasi genting. Gue cerita sambil kita jalan, ya. Yuk ikut gue."

Tanganku menarik tangan Sherry menuju tempat aman. Meski aku belum tau di mana tempat aman itu. 

Mendadak aku memekik. Telapak tanganku terasa nyeri tertusuk. Saat aku menariknya, sebuah jarum suntik tertancap di sana. Aku menatap tanganku, dan menatap mata temanku tak percaya.

"Sorry," ucap Sherry tanpa rasa sesal. Wajahnya justru tidak menampakkan ekspresi apa pun. Seperti ratu es. Aku ingin membuka mulutku, tapi mendadak otot bibirku kaku. Otot tubuhku yang lain perlahan menjadi lemas. Seluruh sendi-sendi di badanku juga ikut lemas. Demikian juga dengan seluruh tubuhku.

"Lo nggak akan mati, Jane."

Itu ucapan terakhir Sherry yang kudengar, sebelum tubuhku rebah dan duniaku gelap seketika.  

 

~fin~ 

 

P.S. : Okay before you are saying anything, I know it sucks. But here's the thing. The story was inspired by one of my dreams on the other night that I decided to turn into a story. A creepy story. I don't know about you but I feel like to make this one a suspense story. And to be honest, I really love the process of turning that storyline in my dream into a written story. Hope you enjoy this story as much as I do while making it. :))

Comments

Popular Posts