[Cerita Bersambung] Hospital School - Part 1

Baker Against All Massachusetts Schools Starting Fully Remote This Fall –  CBS Boston
Gambar diambil dari sini.

Aku mengerjapkan mataku karena mengantuk. Bekerja setelah jam makan siang memang tugas yang menantang. Jauh lebih menantang dibanding harus menyerahkan laporan bayaran uang sekolah bulanan siswa ke kepala sekolah. Si tua Jenny di balik kacamata bulat bening yang selalu merosot ke hidungnya itu selalu menatapku sinis. Entah apa alasannya.

Aku menguap dan mengulat untuk yang ke-tujuh belas kalinya hari ini. Oke fix ini pertanda bahwa aku harus mengonsumsi kafein harianku. 

Rekan kerjaku pun setuju dengan isi pikiranku, karena setelah melihatku ia langsung berkata, "Lo bikin kopi, gih. Udah kayak zombie tuh mata."

Aku tersenyum mengangguk. "Lo ngopi juga, nggak, Sher?" tawarku pada Sherry.

"Kebetulan semalam gue tidur cukup. Lo aja," sahutnya. "Gue juga nanggung nih ngerjain laporan buat Bu Jenny.

"Okey." Aku mengangkat bahu dan bangkit, meninggalkan komputer yang masih menyala dan menampilkan lembaran Excel yang belum selesai ku otak-atik dan berikan rumus, dan berjalan ke pantry kantor. Atau sekolah, karena kantorku adalah sebuah sekolah. 

Lebih tepatnya lagi, sekolah swasta elit ternama satu-satunya di daerah sini. Sebenarnya sekolah ini menjadi ternama bukan karena kualitasnya bagus banget. Masih banyak sekolah bagus di luar kota yang menyediakan kurikulum dan fasilitas yang jauh lebih keren.

Tapi sekolah ini peninggalan zaman Belanda, dan yang dibangun pertama banget di daerah sini. Orang biasanya rela membayar demi pengalaman, kan? Nah, hanya pengalamanlah yang bisa disediakan oleh sekolah ini. Dari sisi fasilitas dan gedung, jujur saja menurutku sudah banyak yang tua dan perlu dipugar. Temboknya sudah banyak yang retak. Begitu juga dengan beberapa keramik di sini. Lampu-lampunya masih menggunakan lampu kuning yang remang. Sehari-hari para guru dan murid belajar dengan mengandalkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca yang seperti sengaja dibuat besar-besar untuk menghemat biaya listrik. Toilet kumuh di sini juga hasil pemugaran puluhan tahun lalu setelah Indonesia merdeka. Kalau ada satu kata untuk mendeskripsikan fasilitas di sekolah ini, aku akan menggunakan kata 'menyedihkan'.

Tapi si tua Jenny, selain punya hobi menatap orang lain sampai membuat yang ditatap menjadi keder, juga punya hobi berhemat. Jadi begitulah.

Aku menuruni tangga pelan-pelan, karena ini masih jam pelajaran dan aku tidak mau mengganggu ketenangan belajar murid-murid. Sebenarnya alasan lain aku bergerak pelan-pelan adalah karena aku tidak mendengar suara apa pun dari lorong. Apakah ini minggu ujian tengah semester? Kelas-kelas sangat hening hari ini.

Oh, kalau kau bertanya tentang lift, harus kukatakan bahwa sekolah dengan tinggi empat lantai ini sama sekali tidak punya lift. Ini sekolah peninggalan Belanda, ingat? 

Aku sedang sibuk mengeluh dalam hati karena harus turun dari lantai empat ke lantai satu untuk membuat kopi ketika aku baru menyadari sesuatu. Setelah sampai di lantai ketiga, tangga untuk sampai ke lantai dua jadi lebih banyak. Padahal rasanya tangga dari lantai empat ke lantai tiga tidak sebanyak ini.

Meski mau sok-sokan tidak peduli, harus kuakui bahwa rasa kepo mulai menjalari diriku. Aku pun mulai memperhatikan sekeliling. 

Pada saat aku berhenti di anak tangga menuju lantai dua, aku baru menyadari ada pintu yang tersamarkan di balik papan pengumuman dan tanaman hias. Aku mengamati pintu tersebut, lalu mengamati sekitarku, dan tersadar bahwa sebenarnya antara lantai tiga dan lantai dua, terdapat setengah lantai lagi. Ini yang membuat anak tangganya terasa lebih banyak.

Seolah-olah ada angin dingin berlalu di belakang tengkuk. Aku bergidik dan menengok ke belakang, seperti ada seseorang yang mengawasiku dari atas tangga. Tetapi tak ada siapa pun di sana!

Setelah memastikan tak ada siapa pun, aku mendekati pintu yang tersamarkan tadi, dan melihat tidak ada gerendel pintu di mana pun. Tetapi ada setitik lubang kecil di bagian pinggir pintu di balik dedaunan tanaman yang kuduga merupakan lubang kunci dari pintu tersebut sebelumnya.

Aku membungkuk untuk melihat ada apa di baliknya. 

"Kenapa, Mbak?" 

Holy s----! Jantungku hampir mencelus mendengar suara berat seseorang secara mendadak dalam suasana yang tadinya sepi. Rupanya itu bapak janitor tua yang bekerja di sekolah ini.

"Eh... Ehm..." Mendadak aku jadi gagap, dan melirik tanaman di sampingku. "Tadi saya kayak ada lihat serangga di tanaman ini, Pak."

Melihat tatapan si bapak ke arah tanaman dengan alis berkerut, aku cepat-cepat menambahkan, "Eh.. Tapi sekarang sudah pergi, Pak. Hehe."

Ketika si bapak sudah mengangguk, aku cepat-cepat ngacir ke lantai satu untuk membuat kopi. Astaga, aku benar-benar kaget tadi.

Aku menatap cairan hitam yang turun dari mesin kopi ke dalam cangkirku. Aroma kopi langsung semerbak ke seluruh ruangan. Aku baru menyadarinya akhir-akhir ini, tetapi aroma kopi bisa menenangkan hatiku meski hanya sejenak.

Setelah menyesap kopi beberapa teguk dan pikiranku menjadi lebih jernih, aku memutuskan untuk naik lagi ke lantai atas. Kali ini secara perlahan untuk memastikan tidak ada yang ada di sekelilingku.

Tiba di lantai 2 menuju lantai 3 (atau harus kusebut lantai 2.5), jantungku semakin berdebar keras. Setelah memastikan tak ada siapa pun di sekelilingku, dengan sigap aku mendekati lubang kunci di belakang tanaman. 

Tidak kelihatan apa pun. Kuputuskan untuk mematahkan satu ranting tanaman yang kecil dan mencoloknya ke dalam lubang kunci tadi. Nah, sekarang baru bisa kelihatan.

Napasku seperti tercekat dan mata kecilku membulat begitu melihat apa yang ada di balik pintu rahasia ini. Ternyata memang ada sesuatu di balik keanehan tangga ini! Meski samar dan begitu kecil, aku bisa melihat adanya sebuah lorong yang mewah dan moderen, dengan lantai keramik coklat kekuningan mengilap, dinding putih bersih, juga ruangan-ruangan kaca. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi fasilitas sekolah yang begitu menyedihkan.

Apakah uang sekolah kami yang mencapai milyaran itu dialokasikan untuk membangun lantai rahasia ini? 

Dan omong-omong, sebetulnya dipakai untuk apa tempat mewah begini? 

Hei, ada wanita dan laki-laki berpakaian seragam merah muda yang lalu lalang. Mereka nampak seperti...perawat. Dan ada manusia-manusia yang berpakaian putih di dalam ruangan kaca. Gerakan mereka nampak aneh. Mereka diam menatap ke depan, lalu tertawa sendiri. Bergantian.

Kok seperti... rumah sakit jiwa?

Mendadak bulu kudukku berdiri. Aku harus menceritakannya pada Sherry. Kukeluarkan ponsel yang ada di kantong celanaku dan mulai mencari nama Sherry. Tapi mendadak jariku terhenti.

Tidak. Jangan libatkan Sherry dulu. Aku harus tau tempat rahasia apa ini sebenarnya. 

Aku berdiri dan menyesap kopi sambil mondar-mandir perlahan di depan papan pengumuman. Jika ada yang sedang melihatku, mungkin aku disangka sedang membaca-baca isi papan pengumuman, padahal sebenarnya aku sedang membayangkan denah sekolah ini di kepalaku untuk mencari tahu dari pintu mana aku bisa masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Mbak..." Aku terlompat dan nyaris menumpahkan kopiku di dalam pot tanaman. Ya Tuhan, nyaris saja aku membuat klorofil tanaman ini bercampur dengan kafein. 

Sebelum aku menengok ke belakang, dari suaranya pun aku sudah tahu ini pasti pekerjaan si bapak janitor tadi. 

Benar kan dugaanku. Sambil kupaksakan seulas senyum aku berkata, "Ya, Pak?"

"Lagi ngapain, Mbak? Kok dari tadi seneng amat nangkring di sini."

Aku memperlebar senyum terpaksaku. "Eh hehehe.. Saya lagi lihat papan pengumuman, Pak. Ini ada mading anak-anak. Bagus juga, lho, hiasannya."

Si bapak janitor hanya mengangguk-angguk meski aku tahu dia pasti tidak mengerti di mana letak bagusnya desain papan pengumuman usang yang hanya ditempeli rumbai-rumbai kertas krep.

Tapi aku sudah tidak terlalu peduli, karena kepergian si bapak akhirnya membuatku bisa menghela napas sesaat. 

Aku kembali membayangkan denah sekolah di benakku dengan mata terpejam. Kalau ruangannya berbentuk persegi panjang ke arah utara, seharusnya di atasnya sebelah utara itu ruangan apa ya? 

Aku membuka mata. Laboratorium sekolah! pekikku girang dalam hati. Bergegas aku naik ke lantai tiga untuk mencari laboratorium. 

Beruntungnya, ruangan laboratorium sedang sepi. Aku meletakkan cangkir kopiku yang sudah kosong di atas meja keramik (yang omong-omong juga sudah mengalami keretakan) tempat berbagai percobaan laboratorium dilakukan.

Seharusnya ruangan tadi ada di bawah laboratorium ini. Aku mengetuk-ngetuk tiap lantai yang ada di laboratorium. 

Nihil. Tidak ada pintu rahasia di sini. Aku mulai menertawakan kebodohanku. Jangan-jangan tadi itu aku salah lihat. Mungkin tadi itu ruangan UKS.

Ya, kan?

Tapi bulu kudukku kembali berdiri ketika mengingat manusia-manusia berbaju putih yang berbicara dan tertawa sendiri. 

Tidak. Ada yang aneh di sini. Dan aku harus mencari tahu.

 

~to be continued~
 
Baca Part 2-nya di sini, ya.

Comments

Popular Posts