Never Sorry


Gambar diambil dari sini.

Terlahir sebagai anak perempuan, aku dibesarkan dengan perlindungan yang sedikit ekstra dari orangtuaku, khususnya Mami. Dulu-dulu, aku punya jam malam atau batas jam maksimum untuk pulang ke rumah. Terus, kalau aku akan pulang malam atau harus pulang dari tempat yang jauh dari rumah, dia pasti akan usahakan menjemput. Malah yang lebih parah, dulu dia berencana melarang aku untuk ngekost saat kuliah. Tapi untungnya akhirnya aku diperbolehkan untuk ngekost. Ya gila aja sih kalau harus pulang-pergi Tangerang-Semanggi tiap hari mah. Bisa-bisa kurus kering aku.

Selain itu, she is a doer by nature, apa-apa dia mau kerjakan. Dengan begitu, ada banyak sekali keperluanku yang dia mau dan bersedia kerjakan. Dia sukarela, tapi bagiku hal itu juga dia lakukan karena dia merasa segala hal yang dibutuhkan anak-anaknya merupakan tanggungjawabnya sendiri. Dia bisa stressed kalau bukan dia yang mengerjakan, jadilah aku sering dibantu-bantu sama dia.

But, guess what? Kupikir aku adalah anak yang cukup (atau setidaknya anak yang punya obsesi untuk menjadi) mandiri. Baiklah, mungkin sekarang kalian pikir aku sedang menyombongkan diri. Oh, tapi tidak begitu, kawan. Pemikiran itu kudapati karena aku merasa sejak dini aku sangat ingin melakukan banyak hal bagi diriku sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Misalnya saja, saat aku masih TK, aku sangat (sangaaaaat) ingin sekali bisa memakai baju seragamku sendiri tanpa bantuan. Tapi setiap kali aku sedang berusaha memakainya, selalu saja ada tangan-tangan yang membantuku, entah mamiku, atau ART. Jadi biasanya setiap kali aku selesai mandi, aku akan cepat-cepat masuk kamar dan menutup pintu. Lalu secepat mungkin aku segera mengenakan semua seragamku sebelum ada siapa pun yang menolongku melakukannya. Kadang aku gagal selesai berpakaian sebelum ada yang membantuku. Tapi tak jarang aku pun berhasil selesai memakainya sebelum ada yang masuk kamar dan memakaikan seragamku.

Ketika berhasil, aku sangat bangga. :)

"Kalau gitu kenapa nggak ngomong aja ke mami atau ART bahwa lu mau pake baju sendiri?"

Nah, itu dia salah satu permasalahanku sejak dini. Aku sulit sekali menyampaikan pendapat dan keinginanku pada orang lain. Still wondering now, and still working on it now :D Tapi sekarang sih aku sudah mulai agak bisa menyampaikan pendapat dan keinginanku. Tapi waktu kecil, apa-apa memang kusimpan sendiri.

Tapi kurasa kesulitanku untuk menyampaikan keinginan, atau lebih spesifiknya, meminta bantuan kepada orang lain, sedikit banyak memiliki kaitan dengan obsesiku untuk menjadi mandiri. Ya, mungkin saja begitu.

Selain itu, contoh kemandirianku yang lain adalah aku lebih suka bepergian ke mana pun tanpa bantuan orangtua untuk mengantar-jemput. Rasanya happy sekali kalau tiap ditanya, "Mau dijemput nggak?" sama mamiku, aku bisa jawab, "Nggak usah Mi, sendiri aja bisa kok." Happy :)

Aku juga cukup terobsesi untuk bisa mandiri secara finansial. Setelah bekerja, sebisa mungkin segala hal yang terkait kebutuhan dan keinginanku ya kubayar sendiri. Bisa beli makanan enak pakai uangku sendiri. Beli baju, beli ponsel, beli kebutuhan apa pun sendiri. Beli asuransi kesehatan sendiri. Pengennya sih suatu saat bisa beli rumah sendiri. Kalau sobat-sobat mau tau, keinginanku beli rumah sendiri sudah ada sejak mulai bekerja, yakni 22 tahun. Usia yang kata orang-orang terlalu muda untuk memikirkan 'beli rumah'. Ya, tapi itu aku.

Little did I know, a strong, independent woman, is what I want to be.

Semakin beranjak dewasa, keinginanku mulai macam-macam. Pengin sekolah tinggi, pengin sukses di karir, pengin ini itu ini itu, sampai di satu titik pun akhirnya aku tiba pada keputusan bahwa menikah itu tak wajib untukku. Kalau dapat yang cocok dan baik, ya aku menikah, kalau nggak pun aku harus mampu membiayai hidupku sendiri hingga nanti. Well, I never feel sorry about all that.

Saat ini aku memang punya pasangan. Tapi aku selalu berusaha tetap mandiri dan menempatkan diriku pada situasi "ada atau nggak ada pasangan, aku harus tetap bisa ke mana-mana sendiri, tetap harus bisa purchase kebutuhanku sendiri." Aku harus tetap bisa berpenghasilan. Aku harus punya keahlian, meski cuma satu sekali pun (dan inilah salah satu alasan kenapa aku mengejar gelar S2, hehe). Dan yang paling penting, jangan pernah takut untuk terus-menerus meng-upgrade diri ke arah yang lebih baik.

Pertanyaan maupun komentar klasik ala orang Indonesia pun kuusahakan tak mengusikku. Seperti komentar perempuan dengan budaya patriarki dan (biasanya sudah) berumur pada umumnya, ibuku juga pernah mengatakan, "Jangan sekolah melulu, nanti cowok takut."

Lalu kujawab, "Bagus dong, soalnya aku juga nggak suka sama cowok penakut."

And, that too, is what I will never feel sorry for. :)

Aku nggak pernah mau merasa bersalah karena punya mimpi yang tinggi, atau karena punya cita-cita sekolah tinggi. Bagiku, salah satu priviledge hidup di abad 21 adalah karena perempuan, meski belum sepenuhnya, sudah mulai diberikan ruang untuk berpendapat tanpa diwakili laki-laki, untuk bebas punya keinginan dan kehendak atas pilihannya sendiri, untuk bisa mengaktualisasikan diri tanpa mengurangi sedikit pun nilainya sebagai seorang perempuan.

Yes, whatever kind of great woman you want to be, it will never make you less than a woman.

Happy international women's day!


P.S. : Hai semua. Maaf baru kembali bikin tulisan. Aku tahu sibuk bukan alasan. Akan berupaya sebisa mungkin untuk kembali menjaga konsistensi frekuensi menulis, setidaknya sekali sebulan. :)

Comments

Popular Posts