[Cerita Pendek] Joan Day

Gambar diambil dari sini.

Meski tidak dapat melihat benda-benda langit secara jelas, Joan yakin matahari sudah tinggi ketika ia meninggalkan apartemen di belakangnya dan menyeret kakinya di sepanjang Berkeley Street yang masih menyisakan salju semalam. Ia bernapas lega karena semalam hujan salju hanya berlangsung sebentar. Pagi ini sisa-sisanya sudah mulai dibersihkan petugas setempat, jika tidak... Entah apa yang akan terjadi padanya hari ini. Kabur keluar apartemen di tengah badai salju lalu menggigil kedinginan?

Joan memejamkan matanya lalu bergidik, bayangan itu menakutkan sekali. Ia paling tidak tahan dingin. Dieratkannya lagi satu-satunya mantel yang melekat di tubuhnya. Kepalanya terasa berat sekali dan matanya bengkak. Menangis semalaman memang bukan ide yang bagus.

Sisa tenaganya dipakai untuk menarik kedua tungkainya untuk maju. Karena itu Joan jadi kurang memperhatikan jalanan dan terkejut saat ada suara seorang wanita yang mendadak memekik, "Olivia! Jangan lari-lari begitu! Aduh, tidak sanggup aku mengejarmu."

Joan memfokuskan pandangannya dan menemukan seorang balita tengah berlari ke arahnya. Sepertinya baru belajar berjalan, geraknya aktif sekali. Sementara wanita yang sepertinya tadi memekik terlihat kewalahan mengejar-ngejar anak perempuan yang berlari ke arahnya. Joan merentangkan kedua tangannya dan bersiap menahan anak itu.

"Hei, Adik kecil," ucapnya seraya menahan kedua pundak anak perempuan itu. "Ada yang mengejarmu tuh. Jangan bikin susah orang lain, ya."

Anak kecil itu hanya menatap Joan dengan tatapan lugu lengkap dengan seuntai senyum manis. Ia tidak berusaha lari, melainkan mengulurkan tangannya menuju liontin emas yang melingkar di leher Joan.

"Eh, jangan," tukasnya menahan tangan si anak kecil yang tetap tersenyum imut. Ia mencelotehkan hal yang membuat kening Joan berkerut sambil menunjuk-nunjuk ke arah leher Joan.

"Ini dari papaku. Jangan diambil, ya." Tepat pada saat itu wanita yang mengejar anak tadi akhirnya sampai di tempat Joan sedang berjongkok.

"Terima kasih sudah menahannya." Meski napasnya tersengal-sengal, wanita itu berupaya tersenyum. "Anakku senang sekali berlari meninggalkan ibunya."

"Sama-sama," sahut Joan ramah sambil berdiri. Tangannya mengelus kepala anak itu singkat. "Ingat, jangan bikin susah ibumu lagi, ya."

Wanita itu tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan dengan menggendong anak perempuannya erat-erat, menciumi pipinya, dan tertawa bersama.

Joan melihat pemandangan itu dan merasakan dadanya tergelitik. Itu yang dia alami setiap kali merasa kosong. Ia menyentuh liontin emas pemberian orangtuanya ketika ia berhasil meraih nilai tertinggi di ujian masuk universitas tujuh tahun yang lalu.

'Setiap keberhasilan pasti mendapat hadiah. Tapi kalau kau gagal, kau tidak layak mendapatkan belas kasihan kami.'

Itu kalimat yang seringkali terucap dari mulut ayahnya dulu. Dulu Joan sampai menyangka bahwa dirinya adalah anak angkat. Selalu ada syarat agar dia dianggap layak untuk mendapat kasih sayang orangtuanya.

Ada masa ketika dirinya tidak melakukan kebaikan apa pun, tetapi tiba-tiba orangtuanya mulai memperhatikan dirinya. Kau tahu, perilaku orangtua normal pada anak-anaknya. Misalnya seperti ibu yang mulai memasak sarapan untuknya, dan ayah mulai sering pulang lebih awal untuk mengobrol hal-hal ringan dengannya.

Hanya perlu waktu satu minggu bagi Joan untuk mengetahui bahwa semua tindakan baik yang dilakukan kedua orangtuanya memiliki satu tujuan. Mereka mau Joan bekerja pada direktur di tempat ayahnya bekerja sebagai asisten pribadinya. Gajinya besar, tentu saja. Terlampau besar sebenarnya untuk mahasiswi yang baru lulus sekolah. Tapi Joan tahu direktur tua itu sudah lama bercerai dan senang main perempuan. Joan juga diminta untuk tinggal bersama kakek tua itu dan mengurusi segala keperluannya.

Ia jijik. Orangtuanya betul-betul tidak normal.

Merasa hidupnya mulai menyerupai alur cerita opera sabun, Joan memutuskan untuk kabur ke luar kota, jauh dari orangtuanya. Dan tentu saja ia tidak memberitahu siapa pun. Ia tidak jadi masuk universitas dan memutuskan untuk hidup mandiri dengan bekerja sebagai pelayan restoran beberapa blok dari rumah sewanya saat ini.

Dan sekali lagi Joan dibuat takjub karena orangtuanya sama sekali tidak mencarinya. Hanya ada satu kali telepon dari ibunya, yang tidak diangkat oleh Joan, lalu tidak ada kabar apa pun. Satu kali chat pun tidak ada.

Apa yang salah?

Sepertinya dia bukan anak angkat. Wajahnya kelihatan mirip-mirip saja dengan ayahnya. Dan Joan mewarisi warna kulit dan rambut ibunya yang kemerahan.

Lalu kenapa?

'Jangan melamun.'

Ia tersentak mendengar isi pikirannya sendiri. Itu semua adalah masa lalu, tidak seharusnya ia memikirkan hal yang tidak perlu seperti itu.

Ia kembali melangkahkan kakinya, berbelok ke kiri di perempatan ketika sudut matanya menangkap sebuah kafe kecil dengan jendela kaca besar menghadap ke seberang jalan.

Saat melihat pengunjung kafe membelah egg benedict yang terhampar di atas alpukat di atas piring, ia baru sadar perutnya keroncongan dan ia belum menyantap apa pun sejak kemarin sore.

Ah, kesal sekali rasanya. Ia tidak memiliki sepeser pun lagi saat ini karena semua sisa gajinya habis dikeruk laki-laki sialan itu.

"Sayang," sapa Lucas lembut dalam ingatannya. Pundak Joan direngkuh dari belakang dan kepalanya dicium. Joan cukup lama mengenal laki-laki ini untuk tahu bahwa saat ini dia pasti sedang ada maunya.

"Mau pinjam untuk apa lagi kali ini?" sahut Joan malas. Ia berusaha melepaskan diri dari laki-laki itu tapi tubuhnya tertahan.

"Aku belum membayar sewa apartemenku bulan ini." Joan bisa membayangkan cengiran khas Lucas dari nada bicaranya. Tanpa ada rasa bersalah, seperti biasa.

"Kemarin kan aku baru memberimu uang untuk membayar sewa," balas Joan tajam. Laki-laki ini sepertinya menghabiskan stok kesabarannya dari hari ke hari.

"Oh itu," sahutnya santai. Lagi-lagi tanpa rasa berdosa. "Kupakai untuk keperluan lain, Sayang."

"Keperluan apa?" Joan memicingkan mata, menunggu jawaban meski sadar dirinya sudah naik pitam.

"Yah, aku mencoba peruntunganku kemarin."

"Kau... Kau menggunakan uangku untuk berjudi?!" Joan melepaskan pelukan dengan kasar dan memelototinya.

Lucas mengangkat bahu. "Aku hanya berusaha mendapatkan uang. Seperti katamu kemarin."

Joan mendekatinya. "Kubilang kau seharusnya lebih giat mencari kerja. Bukan berjudi."

"Mencari kerja. Mencari uang. Sama sajalah."

Joan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyadarkannya pada realita. Ia pasti sudah sinting kalau kembali lagi ke apartemen laki-laki itu.

Aku takkan memberinya kesempatan lagi, tegasnya dalam hati.

Baru saja kakinya hendak melangkah pergi dari kafe bernuansa turqoise itu, tapi ujung matanya melihat adegan yang membuatnya mau tak mau menoleh lagi ke arah kaca jendela. Ia baru menyadari pengunjung kafe yang memesan egg benedict tadi tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang wanita. Mungkin kekasihnya.

Melihat mereka nampak memiliki hubungan yang harmonis membuatnya kembali merasakan hatinya tergelitik. Joan jadi tidak yakin apakah ini perasaan kosong atau cemburu. Sepertinya hari ini ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki semua yang tidak dipunyainya.

"Aku tidak memiliki uang lagi untuk membantumu membayar apartemen," jawabnya sebelum hendak meninggalkan apartemen Lucas pagi tadi.

Joan berharap laki-laki itu akan berusaha, sedikit saja. Meski tidak bisa membelikan Joan kado di hari ulang tahunnya, atau mentraktirnya makan di restoran, ia berharap, sedikit saja pria itu mau menampakkan usaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

"Mana mungkin seorang Joan tidak memiliki uang. Kau ini kan rajin pangkal kaya." Lucas tergelak. Dan Joan berusaha menahan diri untuk tidak membenarkan peribahasa yang salah digunakan oleh laki-laki itu.

"Lihat saja ini dompet usangmu." Ia mengambil dompet Joan yang tergeletak di atas tempat tidur. "Isinya pasti..."

Joan merampasnya dengan kasar. "Kubilang tidak ada ya tidak ada."

"Kau tidak mau meminjamiku lagi sekarang??" Laki-laki itu kesal, dan Joan mengernyit heran. Apa haknya untuk merasa kesal?

Seolah bisa membaca keheranannya, laki-laki itu melanjutkan, "Bukankah... bukankah pasangan itu tidak perhitungan soal uang? Bukankah seharusnya apa yang kau atau aku punya, itu juga kepunyaan bersama?"

Joan memutar bola matanya. "Oh, aku seharusnya pergi dari sini."

"Ya, pergi saja sana! Wanita tidak berguna."

Joan menoleh pada laki-laki itu. "Sementara kau sendiri lelaki paling berguna, begitu?"

"Aku mengizinkanmu tinggal di apartemenku!" teriak lelaki itu.

"Dan aku yang membayar sewanya! Jadi secara teknis, aku yang mengizinkanmu tinggal di apartemen ini. Kau paham?"

Joan sudah tidak membalas makian terakhir dari laki-laki itu dan langsung menyambar mantelnya untuk pergi keluar.

Sial, semua nostalgia ini membuatnya teringat di masa-masa dulu, ketika Joan masih berbaik hati meminjamkan uang pada laki-laki itu. Joan meminjamkannya karena laki-laki itu bilang ibunya sedang sakit, dan tiba-tiba ia dipecat dari pekerjaannya. Lama kelamaan Joan yang harus menafkahi seluruh kehidupannya.

Dulu mereka seharmonis pasangan yang ada di kafe tadi. Oh, tentu saja. Hubungan mereka akan harmonis selama Joan memenuhi semua kebutuhan laki-laki itu.

Hatinya sakit tiap kali mengingat fakta itu. Kenapa harus selalu ada syarat agar dirinya bisa dikasihi?

Joan menarik napas panjang dan memutuskan untuk tidak cengeng. Ia berjalan lagi.

Rasa-rasanya Joan sudah berjalan beberapa blok. Ia tidak ingat ke arah mana ia melangkah. Udara semakin terasa dingin. Ia perlu mencari tempat singgah sementara.

Dan pada saat itulah ia menyadari ada sebuah gereja dengan dominasi warna merah bata berdiri di hadapannya. Melihat hanya gereja itu satu-satunya tempat yang bisa dikunjungi, ia pun bergegas.

Atmosfer hangat melingkupinya pada saat Joan melangkahkan jejak pertamanya ke dalam gedung kuno namun megah itu. Ia sudah lama mengetahui adanya gedung gereja ini, tetapi inilah pertama kalinya ia mampir.

Joan melangkah ke dalam perlahan sambil mengagumi interior di dalamnya. Penampakan gereja itu sama seperti gereja pada umumnya, dengan bangku panjang yang terbuat dari kayu, semuanya berjejer rapi menghadap ke altar, jendela-jendela besar yang berjejer di dinding kanan dan kiri, serta pilar-pilar penyangga yang juga berada di sisi kiri dan kanan gedung.

Joan mengambil satu tempat di baris kelima dari belakang untuk mengistirahatkan kakinya sejenak. Hening sekali di sini. Nampaknya karena itu bukan hari Sabtu atau Minggu, gereja ini jadi sunyi sekali.

Joan hanya memejamkan matanya selama beberapa detik, tapi mendadak sebutir air matanya jatuh.

Kenapa ia menangis?

Otaknya berpikir lalu menjawab, hari ini menyedihkan dan menyebalkan. Joan baru menyadarinya, hari ini adalah hari terburuk sedunia.

Air matanya makin banyak yang jatuh. Joan menangkupkan kedua tangan menutupi wajah sambil menunduk.

Lihat dirinya sekarang. Tidak punya orangtua. Tidak punya rumah. Tidak punya uang. Dan tidak punya siapa pun yang bisa menolongnya.

Rasanya malas sekali melanjutkan hidup yang seperti ini.

"Ada yang bisa kulakukan untukmu?"

Joan berhenti menangis. Ia mendongak dan melihat seorang suster di hadapannya tersenyum menatapnya, meski ada tatapan kasihan yang terbaca oleh Joan di situ. Suster itu sudah tidak terlihat muda. Guratan di wajah terlihat di banyak tempat. Tubuhnya kurus dan terlihat ringkih, tetapi sinar matanya penuh semangat dan terasa hangat bagi Joan saat itu.

"Kenapa menangis?" tanyanya lagi.

Joan mengelap wajahnya dan manunduk. "Maaf, saya seenaknya masuk dan duduk di sini."

"Jangan pikirkan tentang itu." Sang suster tersenyum lagi. "Kau datang sendiri?"

Joan mengangguk.

"Aku suster Lawrence. Namamu siapa?" Suster Lawrence punya suara dan cara bicara yang membuat orang lain mudah merasa nyaman dan ingin bercerita apa saja padanya.

"Joan," sahutnya singkat.

"Wah! Namamu bagus!" Mendadak keceriaan suster Lawrence meningkat.

Joan menoleh tidak mengerti. "Joan itu artinya 'bagus' dalam bahasa Korea, kau tahu itu?"

Joan tertawa getir sambil mengangkat bahu. "Tidak sebagus nasibku."

Diminta menceritakan persoalan hidupnya, Joan pun mulai menceritakan secara garis besar kisah hidup yang dianggapnya mengenaskan. Tentu saja dia tidak berani menceritakannya secara detil atau dia akan menangis lagi. Joan sudah lelah menangis.

"Yah. Itu bukan pengalaman hidup yang menyenangkan," ucap suster Lawrence penuh empati. "Tapi kau hebat karena bisa bersikap dewasa dan mampu mengambil keputusan secara mandiri."

Mata Joan berbinar sedikit. Tidak pernah disadarinya selama ini bahwa dirinya telah berhasil bertahan hidup melalui semua pengalaman pahit itu. "Oh ya?"

"Tentunya," sahut suster Lawrence. "Menurutku kau gadis yang tegar, juga tangguh. Tapi ada masanya kau pasti lelah."

Joan merasa dirinya sangat lelah. Tapi rasanya perasaan lelah itu sudah ditanggungnya bertahun-tahun sampai dia lupa, bagaimana rasanya saat tidak lelah. Kini saat sesosok asing di hadapannya menyadarkannya betapa melelahkannya perjalanan yang sudah ia lalui, mendadak seluruh sendi-sendi tubuhnya terasa lemas sekali. Ia memang sangat lelah.

"Mau kukenalkan dengan seseorang yang bisa menerimamu tanpa syarat?" tanya suster Lawrence.

Joan paham siapa yang dimaksud suster Lawrence. Ia melemparkan tatapan ke depan altar dan mendapati sebuah salib besar tergantung dengan patung Yesus Kristus menempel di sana.

"Ya. Yesus Kristus yang mati untukmu bahkan sebelum kau mengenalNya," lanjut suster Lawrence.

"Kalau tidak keberatan, mau berdoa bersama?" tanyanya lagi.

Joan tidak merasa keberatan. Dia hanya merasa aneh, karena dia tidak pernah berdoa sebelumnya. Dia hanya tahu Yesus Kristus dari pelajaran di sekolahnya dulu. Tapi entah kenapa Joan merasa yakin saat mengangguk kepada tawaran suster Lawrence.

Suster itu tersenyum, lalu menggenggam tangan Joan. Seiring dengan doa yang diucapkan suster Lawrence, punggung dan dadanya terasa semakin menghangat. Rasanya segala keputusasaan dan kepenatan yang dirasakannya selama ini akan mudah jika diserahkan kepadaNya.

Maka Joan pun mulai menurut, bibirnya mulai ikut melantunkan doa, air matanya meleleh lagi, setetes demi setetes sampai tidak bisa dibendung lagi, sampai ia sesenggukkan hingga tak mampu mengikuti doa suster Lawrence lagi. Tapi ia mulai merasakan satu hal yang menenangkan hatinya, yang kemudian disadarinya sebagai kebebasan.

Mungkinkah setelah ini hari baru yang lebih baik akan ada untuk Joan? Untuk sekali ini saja, ia mau berharap demikian.

N.B. :
Selamat natal 2019 dan tahun baru 2020!! Bulan favoritku Desember selalu lewat tanpa terasa T.T Sudah lama sekali aku mau membuat cerpen yang tanpa plot twist seperti ini, tapi nampaknya hasilnya masih kurang memuaskan dan masih ada banyak hal yang harus kupelajari, hehe.

Alasan kenapa aku menuliskan cerpen ini sebagai postingan penutup tahun adalah karena sama seperti Joan, hidupku juga banyak problemanya. Ya tapi nggak separah kisah hidup dia sih. Basically, di cerpen ini aku mencoba menuliskan kisah yang dialami semua orang. Pasti semua orang pernah kecewa dengan orangtua atau orang-orang terdekatnya. Awalnya aku mau menambahkan kisah Joan yang diremehkan oleh gurunya dan kisah Joan yang dimanfaatkan oleh teman-temannya, tapi kepanjangannnn hahaha. Jadi aku memilih pihak-pihak yang paling signifikan dan paling sering berinteraksi dengan seorang manusia. Pesan moralnya adalah hanya pada Tuhanlah kita bisa bergantung dan tidak perlu merasa takut akan dikecewakan.

Tapi memang tahun ini bukan tahun yang mudah untuk dilewati. Aku menangis banyak sekali. Tapi meski begitu, aku bersyukur karena masih bisa bertahan sejauh ini. Hidupku jauh dari sempurna tapi aku percaya ini juga hidup yang terbaik yang Tuhan percayakan untuk kujalani. Dan lagi, normal life is so overrated and I never really expect for one.

Btw, aku nggak punya resolusi 2020, wkwk. Tapi kalau ditanya keinginanku di tahun depan, kurasa aku hanya ingin bisa puas dengan segala pencapaianku, menikmati momen-momen terbaik saat sedang bahagia dan bertahan saat momen-momen tidak menyenangkan, serta percaya bahwa semuanya pasti berlalu. Jadi ya aku hanya ingin itu. Be content. And minimize negative thoughts (LOL, since I have a lot) hehe.

Selamat menikmati malam terakhir di 2019, teman-teman. Aku sayang kalian <3

Comments

Popular Posts