Thanksgiving

Gambar diambil dari sini.

Beberapa kali aku pernah terpikir untuk pergi yang jauh, meninggalkan semua yang ada di belakangku, keluargaku, sahabat-sahabat dan orang terdekatku, meninggalkan pekerjaanku, meninggalkan semuanya pokoknya, dan pergi yang jauhnya tidak tanggung-tanggung. Switzerland, misalnya. Atau Vancouver, gitu. Lalu hidup mandiri dan menetap di sana. Rasanya mau kabur aja dari kehidupan yang ada sekarang.

Tapi bukan. Bukan karena aku baru saja habis merampok bank dan perlu kabur yang jauh untuk mengganti identitas dan memulai hidup baru. Tapi you know lah, manusia dan rasa puasnya itu memang menjengkelkan. Masalahnya, manusia memang tidak pernah sampai pada rasa puasnya.

Misalnya saja, adikku. Dulu-dulu kepengin sekali dia punya anjing yang lucu. Satu saja, katanya. Maka dibelikan satu. Lama-lama dia mau pelihara dua, lalu dikasihkan lagi satu anjing buat dia. Ini dari tetangga. Sudah punya dua, dia mau tambah adopsi lagi. Kalau bukan aku yang melakukan aksi unjuk rasa menolak diadopsinya anjing lain lagi di hadapan seluruh warga negara di dalam rumah itu, sudah pasti rumah kami sekarang menjadi pusat penangkaran anjing-anjing liar. Hadeh.

Oke, intinya ya itulah manusia. Keinginannya selalu bertambah seiring perkembangan zaman dan dunia digital. Aku dulu taunya hanya Jepang satu-satunya negara bagus dan indah, dulu maunya cuma ke Jepang. Jepang belum kesampaian, setelah kenal Instagram tau-tau aku kepengin ke Eropa dan sekitarnya. Sungguh BPJS sekali aku ini kan. Bagi yang nggak tau, BPJS itu singkatan dari Budget Pas-Pasan Jiwa Sosialita. Seringkali memang aku perlu menyadarkan diri bahwa aku ini bukan Nia Ramadhani yang di rumahnya sendiri saja bisa kesasar. Jadi, sadari itu.

Nah, balik lagi ke niatan dan motivasiku dalam mengejar khayalan kosong tadi. Jika hanya dipikirkan sekilas rasanya hidup sendiri di tempat yang indah, tidak penat. tidak macet, kok ya enak sekali ya. Tapi sayangnya, ketika aku mulai pakai logika dan mempertimbangkan segalanya secara realistis ya memang sebetulnya tidak seindah itu.

Selain karena aku tidak punya uang sebanyak itu untuk sok-sokan kabur ke negara maju yang biaya hidupnya mahal seperti yang kusebutkan tadi, kesulitannya sungguh banyak. Mesti belajar bahasa dulu. Lalu di sana aku mau kerja apa? Apa aku bakal suka dengan pekerjaannya? Belum lagi pengurusan administratif perpindahan warga negara. Lalu proses adaptasinya gimana, memangnya kamu akan langsung diterima, langsung punya banyak teman di sana? Budayanya beda, kebiasaannya beda. Ya, segalanya harus dimulai lagi dari nol. Kalau sakit, ngurus diri sendiri. Harus pergi ke dokter sendiri yang aku juga bingung bahasanya gimana.

Tuh kan, baru dipikirkan sekilas saja tantangannya sudah banyak banget dan aku langsung ilfeel dengan ideku sendiri yang naif bukan kepalang.

Lalu aku juga masih ada tanggungjawab kuliah yang mesti kuselesaikan. S2 itu mimpiku dari dulu, masa iya aku tinggalkan? Meski aku kabur setelah S2, bagaimana dengan pengaplikasian ilmu yang sudah kudapat bertahun-tahun? Kacau sekali kalau aku sampai mengorbankan kerja kerasku dan orangtuaku selama bertahun-tahun (aku ngomongin uang kuliahnya, maksudnya) hanya untuk keinginan semu dan angan kosong yang tidak beralasan. Kesannya aku ini semena-mena dan boros sekali, kan? Konglomerat bukan, selebgram bukan, punya hak apa aku untuk hidup foya-foya lalu besoknya melarat seperti itu?

Bermimpi boleh, tapi harus tetap realistis dan bertanggung jawab. Soalnya kita seringkali memikirkan berbagai skenario yang kita pikir akan lebih baik, lebih indah, jika dijalani dibandingkan hidup yang kita jalani sekarang. Tapi ya kenyataannya, setiap skenario, setiap pilihan yang kita buat, itu punya kesusahannya masing-masing. Daripada mengeluh, bagaimana kalau kita bersyukur aja sama yang sudah dijalanin sekarang? At least apa yang ada sekarang nggak harus kita mulai dari nol, kan?

Happy thanksgiving, everyone. Meski telat beberapa hari, aku bersyukur sama banyak hal di hidupku sekarang. Meski nggak sempurna, tapi baik adanya. Bisa dijalani, meski banyak juga peerku yang harus diselesaikan. Yang paling kusyukuri tentu saja pekerjaan. Aku sudah bisa mandiri, cari uang sendiri, bisa beli makan tanpa mikir keras besoknya lagi mau makan apa, kalau mau beli kebutuhan sendiri masih bisa, diminta jajanin adek masih sanggup, juga masih cukup untuk nabung demi masa depan. Dan yang paling penting perusahaanku masih membayarkan BPJS Pensiun dan Jaminan Hari Tua yang bisa kufoya-foyakan saat sudah lansia nanti. Ciamik sekali, bukan? Hehe.

Bersyukur bukan dilakukan saat kehidupan kita sudah sempurna dan nggak ada hal yang bisa kita keluhkan lagi, melainkan saat kita bisa fokus ke hal-hal baik yang kita miliki meski ada banyak hal yang nggak menyenangkan di hidup kita. :D

Comments

Popular Posts