Are You Okay?

Gambar diambil dari Twitter @WMHDay

Baru-baru ini seorang teman menanyakan padaku satu kalimat pertanyaan ini ketika aku baru saja minta playlist rohani yang dia punya.

"Are you okay?"

Sebuah pertanyaan singkat, sederhana, dan mungkin maknanya nggak dalam buat sebagian orang, tapi berhasil membuatku jadi berpikir. Am I really okay?

Lucunya, aku pun nggak bisa menjawab pertanyaan itu.

Sebagai anak introvert sejati aku pun sulit untuk membuka diri akan semua masalah dan pikiranku, even ke orang-orang terdekat. Bukan karena nggak percaya, tapi aku tahu tiap orang punya masalahnya masing-masing. Dan seterbuka-terbukanya mereka untuk menampung keluh kesahku, aku juga tahu kalau mereka juga punya kapasitasnya dalam mendengarkan beban yang aku pikul.

Sometimes aku cerita ketika ditanya. Sometimes aku keep sendiri aja. Tapi aku juga cukup mengenal diriku dan sadar batas kekuatan diriku sendiri. Jadi ketika aku sudah sampai cerita, pastilah itu sudah menjadi ganjalan hati yang ditabung cukup lama dan siap meledak kapan aja.

Sejak kecil aku punya kebiasaan untuk menyimpan segala sesuatu sendiri. Beranjak remaja, ketika aku mulai punya sahabat yang aku merasa aku bisa percaya banget, aku mulai cerita-cerita sama orang ini. Tapi sepertinya tanpa sadar aku bleber, tumpahin semuanya tanpa mikir kondisi dia juga. Aku pun diprotes, dibilang moody dan suka mengeluh.

Setelah itu, sempat ada momen beberapa waktu di mana aku sama sekali nggak menceritakan apa pun kepada siapa pun. Waktu itu pas lagi patah hati juga. Cowok yang aku taksir selama berbulan-bulan akhirnya jadian sama cewek lain. Tapi di saat seperti itu, aku takut nampilin perasaanku yang sebenernya ke sahabat-sahabatku waktu itu. Aku bersikap seolah-olah nggak terjadi apa-apa. Padahal mah dalam hati udah remuk, hancur, crispy banget pokoknya.

Nah, jadi di momen yang aku sebutkan barusan, karena nggak bisa cerita ke siapa pun saking insecure-nya dipandang suka menggerutu, akhirnya aku mencoba mencari-cari alternatif lain untuk membuang sampah dari hati ini. I just want to let you know, bahwa ada lho cara-cara lain tanpa melibatkan manusia lain yang bisa kita lakukan agar beban di hati kita bisa lebih ringan.

Memang proses menemukan alternatif ini membutuhkan waktu, tapi habisnya waktu ini sangat worth it. Sekarang aku bisa bilang tiap kali aku lagi sedih, salah satu cara yang aku lakukan itu pasti nangis. Nangis yang banyaaak banget. Aku biasanya memang nangis ketika aku lagi sendirian, tapi meski kepergok orang lain pun, aku nggak peduli. Meski orang mungkin akan bilang aku cengeng, mellow, manja, lemah, rapuh, apa pun deh istilahnya....

...bagiku, aku sudah menyelesaikan separuh persoalanku dengan menangis.

Because crying is healing, cleansing, liberating. Aku sangat setuju sama ungkapan Jenny Jusuf yang ini. Penjelasan logisnya sih, dengan nangis, aku yang tadinya emosional dan nggak bisa berpikir jernih jadi lebih bisa take time dan merefleksikan gimana baiknya langkah selanjutnya yang harus kuambil.

Selain nangis, aku juga suka berdoa. Jadi ini tidak melibatkan manusia, tapi Tuhan. Ya dari mana pun kamu berasal, kepada siapa pun atau apa pun kamu percaya, berdoa dan mengungkapkan kegelisahan hati kamu dan percaya bahwa ada kuasa yang lebih besar dari manusia yang mampu menyelesaikan masalah-masalah kamu, itu juga bisa membantu meringankan beban di hati.

Kalau nggak berdoa, ya biasanya aku melakukan yang namanya "sikap hening". Silakan googling mindfulness practice. Inti aktivitasnya adalah meringankan beban pikiran dengan cara mengambil sikap duduk atau berbaring sambil melatih pernapasan, mengatur emosi, dan membiarkan seluruh indera kita merasakan apa yang ada di sekeliling kita (here and now). Latihan ini buat aku sebagai cara untuk menenangkan diri aja, ya, bukannya seperti aku memiliki Tuhan / dewa lain. Simply untuk membuat otot-otot di tubuhku menjadi lebih rileks.

Alternatif lain yang kulakukan adalah dengan menulis. Aku punya satu tagline yang sering aku pakai di profil media sosial :

"I write to keep me sane."

Kalimat ini bukan cuma buat gegayaan guys, tapi kalimat ini sungguh merefleksikan diri aku dan caraku untuk dealing with problems. Menulis benar-benar bisa bikin perasaanku jauh, jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku beneran bisa bilang bahwa menulis membuatku tetap waras. :) Kalau kalian suka nulis, this might work for you as well.

Tapi aku tahu, setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing. Nggak semua cara yang kusebutkan di atas bisa berhasil untuk semua orang. Masih banyak cara-cara lain untuk mengantisipasi rasa sedih, tertekan, nggak berharga, dan lain-lain di luar sana yang nggak bisa aku tulis semua di sini. You might wanna do the research on internet, hehe. Yang aku perkenalkan di sini hanya caraku.

Tapiiii, terlepas dari semua cara-cara yang mau kalian coba lakukan, hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan adalah terlebih dulu mengakui perasaan kalian. Nggak semua orang cukup terbiasa untuk mengakui ke dirinya sendiri bahwa dia merasa sedih, merasa insecure, merasa nggak baik-baik aja. Ini budaya yang harus dibiasakan untuk kita semua.

It is okay not to be okay.

Dan yang paling penting juga, kalian yang tahu diri kalian sendiri. Pada saatnya butuh bantuan orang lain, do reach for help ke orang yang kalian percaya.

Di bulan mental health ini, semoga kita semua semakin menyadari pentingnya mental health dan pengenalan diri sendiri, juga bisa semakin bersikap baik kepada orang-orang di luar sana yang membutuhkan bantuan.

Perlu diingat, bisa jadi orang yang terlihat paling tegar adalah orang yang sebenarnya paling butuh pertolongan kita. Happy world mental health day, everyone. ;)

Comments

Popular Posts