Kopi dan Film Tragis

Gambar diambil dari sini.

Aku suka kopi.

Khususnya jenis black coffee apa aja, nggak pakai gula maupun creamer. Apalagi yang di-brew dari mesin kopi. Nah, itu favoritku.

Mungkin ada beberapa dari kalian yang bertanya-tanya apa sih enaknya kopi. Pait gitu padahal. Oke, jangan salah sangka dulu. Para pecinta kopi hitam yang pahit pekat ini bukannya mengalami kelainan pada indera pengecap mereka. Apa yang kami rasakan saat mencecap kopi juga sama kok dengan yang kalian rasakan. Yang bikin kami (at least, aku) tergila-gila sama kopi bukan rasanya, tapi efek setelahnya.

Efek yang bikin pikiran seketika jernih. Ngantuk lenyap. Fokus naik. Seolah-olah roda-roda katrol di otak baru habis dikasih oli, bisa gerak cepet banget. Berasa jadi lebih pinter aja gitu habis minum kopi. Paham kan kurang lebih maksudnya?

Jadi meski aku sengsara dengan rasa pahit kopi yang seperti mencederai indera perasa di lidahku ini, mengetahui bahwa aku akan jadi lebih pintar setelahnya membuatku tak keberatan menghabiskan secangkir sampai tak bersisa lagi.

Efek ini mirip dengan yang kurasakan saat menonton film tragis / film tragedi. Oke sebelumnya mungkin aku perlu meluruskan kepada kalian tentang apa yang kumaksud dengan film tragis.

Hmmm, by the way, kalian nonton Parasite? Itu film Korea, kalau kalian belum tau. Itu salah satu contoh film tragis yang kumaksud. Film tragis itu mengandung tragedi. Yang akhir ceritanya hampir nggak pernah dibikin happy.

Contoh film tragis lainnya adalah Flowers in the Attics, 13 Reasons Why, Big Little Lies, dan Black Mirror.

Oke, tiga contoh terakhir yang kusebutkan itu series deng, bukan film. Tapi intinya film tragis adalah film-film, baik itu movie maupun series, yang membuatku langsung stressed, pusing, lelah jiwa, tertekan, sulit move on dengan kisahnya begitu selesai menonton. Simply karena film tragis banyak mengusung the dark side of life.

Peristiwa-peristiwa yang terkandung di dalam film tragis itu adalah peristiwa ekstrim yang mungkin dialami sebagian kecil umat manusia di bumi ini. Ya, kisah-kisah seperti si tokoh utama bisa jatuh cinta dengan kakak kandungnya sendiri akibat dikurung bertahun-tahun bersama-sama tanpa melihat dunia luar. Atau kisah tokoh utama yang terpaksa terus-menerus menipu untuk memiliki hidup yang lebih layak karena mereka begitu miskin, yang pada ujungnya menyebabkan kematian saudara kandungnya dan nasib buruk ayahnya yang menjadi buronan polisi.

Terus kenapa dong aku suka sama film-film tragis? Tentu saja jawabannya bukan karena aku adalah seorang masokis atau psikopat yang senang melihat orang lain disiksa habis-habisan.

Alasannya, sama seperti kopi, efek yang kualami setelah menonton film tragis memiliki efek yang positif. Yep, setelah terpapar dengan kisah-kisah sadis, kemudian melihat hidupku sendiri di dunia nyata, aku bisa melihat hidupku dengan kacamata yang berbeda. Rasanya semua masalah di hidupku langsung menjadi kerikil. Nggak ada apa-apanya. Rasanya langsung ada banyaaak hal dalam hidupku yang seketika bisa kusyukuri. Karena aku membandingkannya dengan kehidupan orang lain di dalam film tragis yang jauh lebih parah daripada hidupku sendiri.

Film tragis bisa membuatku lebih mensyukuri hidup yang kujalani.

Mungkin ada beberapa di antara kalian yang membaca postingan ini berkata dalam hati, "Ya tapi itu kan fiksi. Cuma film. Bohongan."

Ya aku juga tau itu fiksi. Tapi coba deh kalian pikir, film fiksi pun, tentunya kurang lebih mendapat inspirasi dari dunia nyata, bukan? Eh tapi kalau film scifi sih lain cerita ya. Pokoknya gini, untuk kisah-kisah nasib buruk yang dialami para tokoh dalam film sadis ini, aku percaya, someone somewhere might really experience it. Mungkin kalian mikir, masa ada sih ibu yang sejahat itu, ngeracunin anaknya sendiri. Well, aku percaya ada aja yang seperti itu, mungkin di tempat lain, belahan dunia lain. Pasti ada.

Now, why do I share this with you? The reason is because I want to help you see things in different perspectives. And this is one of the ways to do it. Mungkin kalian punya cara bersyukur yang berbeda, it's okay. Mungkin nggak semua orang suka film tragis dan bakal cocok dengan caraku, that's fine too. Yang penting mencoba untuk bersyukur.

Karena dalam hidup ini, kalau kita nggak punya kadar yang seimbang antara "berusaha" dan "bersyukur", akibatnya bisa gawat. Terlalu banyak berusaha bisa bikin lelah dan depresi. Terlalu banyak bersyukur juga hidup nggak bisa maju-maju. So balancing those two, it is.

Good luck in finding your own way.

Comments

Popular Posts