Turning 24 : Welcome Quarter Life Crisis

Gambar diambil dari sini.

Tahu, tidak? Sebelum aku memasuki usia ini, aku masih merasa muda belia. Rasanya aku masih ada di usia yang bisa main-main sepuasku kapan pun aku mau. Tadinya bagiku, aku masih berada di usia yang memiliki hak untuk kelayapan hingga subuh dan pulang ke rumah untuk tidur, lalu bangun siang keesokan harinya dengan sepiring ketoprak terhidang di meja makan, menunggu untuk disantap, dan akhirnya mengobrol ngalor ngidul sembari menonton TV. Bukannya aku sering kelayapan lho. Meski omonganku tadi terdengar songong dan sok, sesungguhnya pulang subuh pun baru sekali kulakukan sepanjang umurku yang (tadinya) masih muda belia itu.

Intinya, segala pikiran menjalankan hidup sebagai orang dewasa memang sudah mulai terbentuk, tetapi masih terasa sangat jauh untuk ditanggapi secara serius. Ya, ya. Aku tahu aku memang jadi terkesan lumayan tidak tahu diri dengan menyebut diri muda belia di awal tulisanku tadi. Tapi bagaimana dong? Ah, ya sudahlah. Yang penting kan sekarang aku sudah mulai menyingkirkan pemikiran itu.

Sejujurnya aku tidak begitu paham kenapa mendadak aku bisa berpikir bahwa aku mulai jadi tua. Yep, itu satu fakta yang harus kuakui. Berusia 24 artinya adalah…mendekati seperempat abad. Berusia 24 artinya adalah……masa quarter life crisis. Berusia 24 artinya adalah….makin uzur.

Oke, memang berlebihan menyebut-nyebut usia 24 sebagai usia uzur. Mungkin para pembaca yang lebih tua dari usia ini mulai kesal dengan tingkahku. Maaf ya.

Nah, mari kita fokus kepada isu quarter life crisis tadi saja. Sebetulnya aku sudah merasakan quarter life crisis ini sejak sebelum berusia 24, tetapi semakin ke sini aku semakin sadar bahwa fase ini mulai mempengaruhi isi pikiranku akhir-akhir ini. Entah apa sebabnya. Mungkin karena di tempat kerja aku mulai menemukan rekan-rekan kerja yang usianya ada di bawahku. Tapi tidak tahulah. Namanya juga lagi krisis kehidupan, ada banyak hal yang masih jadi tanda tanya.

Bicara soal tanda tanya, di sepanjang usia 23 aku menyadari beberapa fakta tentang diriku. Salah satunya adalah tentang betapa bipolarnya aku. Yea, memang kurang baik melabeli diri dengan salah satu nama gangguan kejiwaan seperti itu. Mungkin juga ada beberapa orang yang bekerja di ranah psikologi yang akan kurang suka dengan tingkahku menggunakan kata itu. Tapi fluktuasi mood yang kualami tanpa kontrol ini yang membuatku tidak lagi bisa menemukan padanan kata yang paling tepat (menurutku lho ya) untuk mendeskripsikannya.

Tentu saja gejala yang kualami tidak seekstrim bipolar betulan. Aku tidak pernah merasa begitu meluap-luap dengan energi yang seolah tidak pernah habis selama berhari-hari, pun tidak pernah mengalami depresi yang amat sangat berat sampai-sampai memutuskan untuk bunuh diri. Kalau iya, tentu aku sudah tidak bisa lagi menuliskan postingan blog yang ini, ya kan?

Intinya, kuakui kalau penggunaan istilah bipolar memang berlebihan. Tapi fluktuasi mood yang kuceritakan itu betulan, meski (sekali lagi) tidak selebay bipolar sungguhan. Misalnya seperti bagaimana aku bisa merasa resah di pagi hari saat tiba di kantor, tetapi bisa menjadi girang gembira satu jam setelahnya dengan keresahan yang mendadak lenyap tak bersisa. Aku memahami perubahan mood itu, karena saat merasa resah aku rasanya tidak mau ngapa-ngapain dan hanya ingin pulang lalu membenamkan diri dalam kasur selama-lamanya, sementara saat aku ceria aku bisa bekerja sambil bernyanyi-nyanyi (atau setidaknya bersenandung kecil untuk menjaga kesehatan telinga rekan kerja di sekitarku) sambil sesekali melontarkan lelucon jayus.

Yang tidak aku pahami adalah, perubahan ini terjadi sendirinya tanpa sebab (atau mungkin ada sebabnya, hanya saja tidak kusadari) dan berada di luar kendaliku. Atau ketika aku merasa begitu gelisah dan bad mood (yang mana lebih sering terjadi) di malam hari, lalu menjadi luar biasa bersemangat keesokan harinya. Atau saat aku begitu meratapi hidupku, lalu berubah mensyukurinya dan menyadari bahwa aku begitu beruntung dan diberkati dua hari kemudian.

Tapi namanya juga hidup. Aku belajar untuk menerima keanehan diri ini apa adanya. Inilah fakta kedua tentang diriku, aku mulai memiliki prinsip untuk feel okay to be myself. Dengan fluktuasi mood yang begitu menyiksa, karena saat fase bad mood aku harus sebisa mungkin menyembunyikannya di depan orang lain, aku belajar untuk memahami diriku sendiri dan bahagia dengan kenyataan ini.

Meski masih ada kegalauan yang kuhadapi pada usia ini, aku cukup puas dengan pencapaian yang kudapatkan selama satu tahun terakhir ini. Bisa dibilang kualitas hidupku meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Ada banyaaak sekali kejadian yang terjadi selama setahun belakangan yang tidak bisa kuceritakan di sini saking banyaknya, mulai dari kejadian paling sedih sampai paling bahagia, paling menggembirakan sampai paling mengecewakan, paling membanggakan hingga paling memalukan, dan paling menghancurkan sampai paling membangkitkan. Tapi semuanya itu menjadikanku lebih kuat daripada sebelumnya. Dan menyadarkanku betapa pentingnya bagiku untuk tidak mengandalkan rencana dan kehebatanku sebagai manusia, tetapi mengandalkan Tuhan yang mengontrol kehidupanku dari A sampai Z.

Oh, well. Tapi ketika kubilang ada pencapaian di hidupku saat ini, itu karena aku sendiri ada usaha untuk menuju ke arah sana. Mulai dari hal kecil seperti ketika kini aku mulai membiasakan diri untuk minum dua liter air per hari. Atau ketika aku mulai berolahraga seminggu sekali. Atau ketika aku rajin mengasah bakat yang dititipkan Tuhan padaku. Atau ketika aku mulai banyak bertoleransi dan menerima diri sendiri. Atau ketika aku berusaha menyemangati diriku lagi yang gagal untuk mendapatkan beasiswa yang kuinginkan. Atau ketika aku mulai terbiasa dengan kedatangan dan kepergian teman-teman terbaik dalam hidup.

Aku tidak sabar menjalani usia baru, dengan tanggung jawab yang lebih besar, tapi aku yakin lebih menyenangkan. Salah seorang teman pernah bilang bahwa mungkin aku malah akan lebih cocok berada di usia 30an. Maksudnya aku bakal lebih bahagia begitu di usia kepala tiga. Kalau di usia ini saja aku sudah cukup bahagia, aku tidak tahu lagi apa yang menantiku di usia kepala tiga. Get excited to look forward to the future :)

Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin bilang pada diriku sendiri :
Hey, happy birthday! And welcome to quarter life crisis…


P.S. :
  • Tulisan ini seharusnya dipost tanggal 1 kemarin, tepat di hari ulang tahunku. Sayangnya, ke-sok-sibuk-an-ku mencegahku melaksanakannya.
  • Jika dibandingkan dengan tulisan birthday reflection-ku tahun lalu, entah kenapa tulisan ini terasa jauh lebih datar. Bisa jadi ini berita baik. Artinya hidupku saat ini sudah less drama dan lebih baik-baik saja. Yey! Tapi sebetulnya bisa juga ini dikarenakan kemampuan menulisku yang makin payah.......
  • I love the picture I picked for this post, cause it pretty much sums up my confusing thoughts nowadays.

Comments

Popular Posts