[Cerita Pendek] Lusifer

Gambar diambil dari sini.

Dikelilingi pohon-pohon raksasa di sekitarnya, sebuah rumah yang sangat besar terbuat dari kayu menjulang kokoh di tengah hutan maple di sebuah desa. Sekali melihat pun semua orang langsung bisa menerka usia rumah tersebut. Rumah itu sudah ada sejak zaman dahulu, kata penduduk sekitar, bahkan sudah ada ketika tempat itu belum dinamai Desa Pantai Karang. Namun, sekalipun usianya telah lebih dari seratus tahun, bangunan itu tidak keropos sedikit pun, mungkin dulunya rumah itu merupakan bangunan termewah di sekitar tempat itu. Hanya, kini debu setebal lima senti menghiasi setiap sisi rumah tersebut.

“Jangan dorong-dorong!” bentak Agneta kesal dengan muka jutek seperti biasanya.

“Aku mau lihat lebih dekat,” jawab Agnita pelan. Ia tidak peduli bila saudara kembarnya marah. Matanya tidak menoleh sedikit pun dari bangunan yang sudah seusia buyutnya itu

“Iya tapi sabar dong,” gerutu Agneta seperti yang selalu dilakukannya setiap saat.

Agneta dan Agnita, meskipun wajah mereka sama persis, namun karakter mereka sangat bertolak belakang. Agneta pemarah. Agnita periang. Agneta tampak tidak pernah tertarik dengan apa pun. Agnita penuih rasa curiga dan penasaran. Bertengkar adalah kegiatan rutian setiap saat yang tak pernah dilewati kakak-beradik ini. Sebab Agneta selalu menggerutu setiap saat, dan itu selalu membuat kepala Agnita berdenyut sakit.

“Haduh! Tempat live in macam apa sih ini?! Kok Papa tega-teganya membiarkan aku tinggal di tempat jorok dan menyebalkan seperti ini?” Agneta kembali menggerutu.

“Marah-marah terus. Sudah dong, Neta. Bersyukur sedikit kenapa sih? Tempat ini menarik kok. Aku suka.” Agnita menanggapi gerutuan kakak kembarnya.

“Tidak! Aku benci tempat ini!” umpat Agneta kesal karena disuruh bersyukur.

“Ssh! Diam dulu! Bangunan ini keren sekali. Sepertinya di desa ini cuma ada dua rumah besar, ya. Rumah ini, dan rumah kakek tempat kita tinggal saat ini. Model kedua rumah pun hampir sama. Aku dengar dari penduduk, rumah Kakek Tiyo itu dibangun tidak lama setelah Kakek Tiyo lahir. Umurnya saja sudah seratus dua puluh enam tahun. Berarti rumah ini sudah sangat tua, kan?”

“Ah, bawel! Kamu dari tadi hanya mengoceh saja kerjanya. Aku tidak perduli mau sama umurnya, kek. Sama tuanya, kek. Sebodo amat! Menyesal aku menemanimu ke sini.” Agneta berbalik dan melangkahkan kakinya kea rah rumah Kakek Tiyo.

“Kamu mau ke mana?”

“Ya, pulang! Kalau kamu masih mau di sini melihat rumah hantu itu, ya silahkan. Aku mau pulang.”

Agnita mendengus. Lelah menghadapi kakak kembarnya yang super menyebalkan itu. Sekali lagi Agnita memandang rumah megah nan tua itu, lalu berlari menyusul kakaknya ke rumah Kakek Tiyo.

***

Ketika kedua gadis kembar itu melangkah masuk ke ruang tamu rumah Kakek Tiyo, Bu Irma, cucu Kakek Tiyo, sedang menghidangkan the untuk Kakek Tiyo. Kakek Tiyo sudah sangat tua. Badannya begitu kurus. Hanya tinggal kulit yang menempel pada tulang. Di rumah sebesar itu hanya tinggal Kakek Tiyo, Bu Irma, dan Pak Ismail, suami Bu Irma. Setiap hari, Pak Ismail bekerja di Kebun Kelapa Sawit milik Kakek Tiyo yang terletak tepat di belakang rumah, sedangkan Bu Irma mengurus rumah dan Kakek Tiyo.

Melihat Agneta dan Agnita telah tiba, Bu Irma berkata, ”Sudah puas jalan-jalannya??” Ia mengatakannya sambil tersenyum. Bu Irma memiliki senyum yang sangat indah. Si kembar sangat betah melihatnya.

“Ya tadi kami sudah jalan-jalan, Bu. Kami ke rumah tua besar yang ada di sana itu.” Agnita menunjuk ke arah utara. Seketika wajah Kakek Tiyo berubah pucat pasi melihat arah yang ditunjuk

“Kalian tidak boleh ke sana lagi! Anak-anak nakal! Bukankah sudah kukatakan sejak awal kalian tiba di sini, jangan dekati rumah itu!” bentak Kakek Tiyo, membuat anak-anak terkejut, tidak menyangka akan didamprat seperti itu. Si kembar langsung menunjukkan wajah karena takut.”

“K-kami hanya penasaran, Kek. Tak ada maksud lain. Sungguh.” Agnita membela diri.

“Pokoknya kalian tidak boleh dekati rumah itu lagi!! Mengerti??!” bentak Kakek Tiyo, membuat Agnita kehabisan kata-kata.

“Kakek.. Tidak perlu marah-marah, kan? Lihat, mereka jadi kaget begitu.” Bu Irma berusaha menenangkan Kakek Tiyo.

“Sesekali anak-anak itu perlu dimarahi! Kalau tidak, mereka lancang!” jawab Kakek Tiyo, masih dengan nada tinggi.

“Maafkan kami, Kek.” Agnita meminta maaf. Ia menyesal sekali. Sementara Agneta menunduk sambil mendelik kesal pada adik kembarnya. Matanya seolah mengatakan,’Kamu, sih!’ pada Agnita.

“Huh,” Kakek Tiyo mengacuhkan permintaan maaf Agnita. Ia masuk ke dalam kamarnya.

“Sudah, Anak-anak. Ayo, sini. Minum teh dulu,” Bu Irma dengan senyumnya yang lembut mencoba menenangkan shock yang masih melanda si kembar. Dan sekali lagi, senyumnya berhasil menenangkan kakak-beradik itu. Seolah terbius oleh senyum maut itu, mereka segera melupakan amarah si Kakek dan langsung mengambil tempat di kursi dan menghirup teh mereka dalam-dalam. Nikmat sekali rasanya. Setelah beberapa saat, Agnita memberanikan diri untuk bertanya pada Bu Irma.

“Bu, kalau Nita boleh tahu, kenapa, ya Kakek Tiyo melarang kami mendekati rumah itu?”

“Hmm,” setelah menyeruput tehnya ia menjawab, ”Ibu juga tidak mengerti dengan jelas. Rumah itu sudah ada semenjak Ibu lahir. Dulu pun Ibu dilarang oleh Kakek untuk bermain di dekat rumah itu. Kakek bilang, rumah itu dikutuk oleh setan yang menunggui rumah itu. Kalau Ibu mendekat, maka akan terkena kutukan juga."

“Setan? Setan apa, Bu?” Agnita mendadak semangat dan penasaran mendengar kata setan.

“Yah. Sebenarnya tidak tepat juga kalau disebut setan. Dia itu malaikat yang terbuang. Kalau di cerita Alkitab, Lusi… Lusi apa ya namanya?” Bu Irma mengernyitkan keningnya, berusaha mengingat sebuah nama yang begitu sulit menempel di benaknya.

“Lusifer.” jawab Agneta datar.

“Ya. Itu dia namanya. Kami orang desa cuma bisa mengingat nama-nama kampong saja.” Bu Irma kembali mengulum senyum indahnya.

Agnita menampakkan wajah berpikir, dan tak lama ia bertanya, “Dan Ibu percaya pada kata-kata Kakek Tiyo?”

“Karena waktu itu Ibu masih kecil, ya Ibu percaya saja.” Jawabnya sambil tersenyum geli.

“Sampai sekarang pun masih percaya?”

“Ya, entahlah. Antara percaya atau tidak. Ibu hanya menuruti nasehat Kakek. Takutnya memang benar.”

Tentu Agnita tidak puas dengan jawaban itu, ia masih ingin mencari tahu lebih dalam mengenai rumah kutukan itu.

“Sudah jam lima sore, sebaiknya kalian pergi mandi,” kata Bu Irma.

“Ya, Bu. Aku mau mandi duluan,” jawab Agneta. Ketika ia berjalan ke arah pintu kamar, tanpa sengaja lengannya membentur dinding dekat pintu kamar tidurnya. Sebuah foto berbingkai yang telah usang jatuh dari dinding.

“Astaga!” Agneta panik. Ia segera memungut foto itu. “Neta minta maaf, Bu,” katanya menyesal. Bu Irma dan Agnita medekati Agneta. Bu Irma mengambil fotonya, dan meletakkannya kembali ke tempat semula.

“Ya, tidak apa-apa, Nak. Lagipula memang sudah usang.” Bu Irma maklum.

Agnita memandangi foto itu. Dua orang pemuda tampan.

“Foto siapa itu, Bu?” tanya Agnita, penasaran seperti biasa.

“Oh. Itu foto Kakek Tiyo dan sahabat dekatnya sewaktu muda dulu.”

“Kakek Tiyo yang mana? Yang di sebelah kiri itu ya, Bu?”

“Iya, benar.” Bu Irma tersenyum. “Dia cukup tampan, ya?”

“ Iya Bu. Omong-omong, di mana sahabat Kakek Tiyo itu sekarang?”

“Kakek Tiyo bilang, sahabatnya itu meninggal dalam perang. Yah, umur manusia kan tidak ada yang tahu.”

***

Malam itu Agnita tidak bisa melelapkan dirinya dalam mimpi. Otaknya tak mau berhenti memikirkan semua yang telah dialaminya hari ini. Betapa anehnya cerita yang dilontarkan Bu Irma. Lusifer??? Benarkah Lusifer menunggui rumah tua itu?? Aneh. Benar-benar aneh.  

“Neta..” panggil Agnita pelan.

“Apa?” Agneta menjawab adiknya dengan suara mengantuk.

“Aku masih penasaran dengan rumah kutukan yang diceritakan Bu Irma. Aku… berniat mengunjungi rumah itu sekali lagi.”

Kali ini Agneta tidak marah. Tidak menjawab dengan jawaban judesnya seperti biasa. Ia menjawab lemas, “Mau apa? Kan rumah itu dikutuk. Nanti kau juga akan kena kutuk kalau dekat-dekat.”

“Ya. Tapi tetap saja aku penasaran. Besok temani aku ya?”

“Tidak. Nanti dimarahi Kakek Tiyo.”

“Kita diam-diam saja perginya. Ya?”

Hening. Agneta tak menjawab lagi. Hanya dengkuran halus yang terdengar. Saat itu Agnita tahu kembarannya telah sampai ke negeri mimpi. Malam semakin larut. Lelah berpikir, Agnita pun menyusul ke alam mimpi.

***

“Huaaahh. Mataharinya bagus, Net. Ayo, jalan!” Nita dengan semangatnya menggendong tas ranselnya dan berjalan keluar rumah Kakek Tiyo pukul setengah enam pagi.

“Apanya yang matahari bagus. Baru secuil yang keluar juga.” jawaban jutek seperti biasa. Namun hari itu Agnita tidak ambil pusing. Ia sedang senang karena Agneta menemaninya hari itu.

“Bu Irma yang suruh. Kalau nggak aku mana mau temani kamu?” Begitulah alasan yang disodorkannya. Ya sudahlah. Yang penting ada yang menemani.

Sesampainya di rumah tua yang sedari tadi diincar, perasaan ragu mulai muncul. Dengan segenap keberanian yang telah dikumpulkan, Agnita melangkahkan kakinya di depan pintu rumah. Tangannya sudah menyentuh gerendel pintu. Dan bunyi ‘kreeeet’ pintu yang telah sangat sangat usang mengiringi kepastian langkah kaki gadis itu ke dalam rumah.

“Nita..” Agneta di belakangnya nampak takut, kemudian memegang pundak adiknya. Walau Agnita sendiri takut, ia berusaha untuk tetap tenang.

Langkah pertama di dalam rumah, si kembar segera terbatuk karena debu yang tak tersentuh selama kurang lebih seabad. Setelah mereka membiasakan diri, mereka mulai mencari-cari jendela untuk mendapatkan cahaya matahari, sebab listrik sudah terputus karena telah lama tak berpenghuni. Namun semua jendela ditutup dengan papan kayu. Semakin memancing kecurigaan Agnita.

“Kok seperti bekas tempat pembunuhan, ya?” kata Agneta asal.

“Hush!” Agnita tiba-tiba merinding.

Mereka menelusuri lorong utama rumah itu. Tiba-tiba seekor tikus lewat di depan mereka sambil berdecit. Terang saja Agneta menjerit dan secara refleks melompat ke menubruk dinding lorong. Hal tak terduga terjadi. Bagian dinding lorong bergeser, memperlihatkan sebuah pintu rahasia. Agnita menyorotkan lampu senter ke arah pintu. Bulu romanya tegak. Rupanya Agneta baru saja menggeser pintu peti mati rahasia rumah itu. Tengkorak yang berdebu, itulah yang ditemukannya. Si kembar menjerit dan lari ke arah pintu utama tempat mereka masuk tadi.

Braakk! Pintu ditutup sebelum kedua gadis itu sempat meraih gerendel pintu. Si kembar kembali menjerit dan berhenti berlari. Agnita dengan panik mengarahkan senter ke arah pintu. Tak ada siapa pun. Atau apa pun di pintu.

“Lusifer! Pasti dia yang menjebak kita di sini! Dia akan membunuh kita seperti tengkorak tadi!” Agneta menjerit-jerit panik.

“Hei, tunggu dulu.” Agnita mengarahkan senternya ke bawah kaki mereka. Ada tali. “Ini cuma trik. Talinya mengarah ke pintu. Lihat?” Agnita menggerakkan talinya dan pintu kembali terbuka.

“Ayo kita pulang saja. Tempat ini parah. Benar-benar menakutkan.” Agneta masih dengan air muka ketakutan memohon pada Agnita.

“Ya. Dan kita juga harus melaporkan tengkorak tadi pada Bu Irma. Benar-benar tempat yang aneh.”

Kedua gadis itu melangkah keluar. Baru beberapa langkah mereka berlari dari rumah bertengkorak itu, langkah mereka terhenti. Pohonnya berbeda dari saat mereka masuk ke rumah itu. Apa ini? Mereka menoleh kea rah rumah tua. Ajaib! Rumahnya seratus persen berubah. Lebih indah. Lebih bagus. Lebih baru. Lagi-lagi aneh!

Mereka berusaha mencari-cari orang yang bisa mereka tanyai tentang semua ini. Namun tempat itu begitu sepi. Ketika melihat ada seorang Ibu muda yang lewat, Agnita mencegatnya. Tanpa basa-basi ia langsung melontarkan pertanyaan, “Bu, boleh kami tahu ada apa dengan pohon-pohon di sini? Kok jadi berbeda?”

Dengan raut muka bingung si Ibu menjawab, “Sejak dulu memang begini pepohonannya,” dan kemudian meninggalkan si kembar dengan ekspresi aneh.

“Ya Tuhan. Apa lagi sekarang??”

Air muka Agnita tiba-tiba pucat pasi.

“Tidak mungkin,” katanya.

Ia berlari kencang ke arah rumah Kakek Tiyo. Meninggalkan Agneta yang susah payah menyusulnya di belakang. Tiba di rumah Kakek Tiyo, rumahnya berubah! Lebih bagus. Lebih indah. Lebih baru. Sama seperti rumah tua yang baru saja berubah jadi istana itu.

“Tidak. Ini tidak mungkin terjadi.” Agnita menggeleng-gelengkan kepalanya. Berharap semua kejadian aneh yang dialaminya ini cuma mimpi. Namun ketika ia membuka mata, ia tetap melihat hal yang sama.

Ada apa, Nit?” Agneta bertanya di sela-sela napas yang tersengal-sengal.

“Ini cuma firasatku. Kuharap aku salah, Kak.”

“Apa?”

“Kita kembali ke masa seratus tahun yang lalu.”

Agneta terbelalak.
***

Agneta tertawa frustasi. “Hahaha. Apa yang kau katakan? Ini semua tidak sungguh-sungguh kan? Mungkin Kakek Tiyo mengecat rumah ini selama kita pergi tadi.”

Agnita menatap kakaknya dengan tatapan yang terlihat sangat aneh saat itu. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Agneta dan berkata, “Pikirlah! Kita pergi tak lebih dari satu jam dan rumah ini sudah berubah! Mustahil mengecat rumah sebesar ini  dalam waktu sesingkat itu. Tidakkah kau sadar?! Semua pohon itu! Ibu yang tak pernah kita lihat sebelumnya pun! Kita kembali ke Desa Pantai Kecil seratus tahun yang lalu!”

Agneta melototi adiknya takut. Agnita yang telah sadar akan apa yang diperbuatnya langsung melepaskan tubuh Agneta. Agnita segera berjalan ke arah Kebun Kelapa Sawit. Dan apa yang dilihatnya di sana, sekali lagi menghentikan langkah kakinya.

“Ayo kita pulang, Nita. Sermakin lama tempat ini semakin aneh.” Agneta, untuk pertama kalinya dalam sejarah, benar-benar memohon pada adiknya.

“Tidak, Neta,” jawab gadis pemberani itu yakin. “Kita sudah terlanjur sampai di sini, dan kita akan membongkar semuanya. Termasuk rahasia desa ini seratus tahun yang lalu.”

Agnita terus memandang ke depan selama berbicara, membuat Agneta menoleh. Melihat apa yang dilihat adiknya. Bukan kebun tanaman kelapa sawit, melainkan ladang mariyuana.

***

“Astaga! Apa ini? Mariyuana?” Agneta cukup terkejut melihatnya, diiringi anggukan Agnita.

“Dengar! Kita akan menguntit pemilik ladang mariyuana ini. Kita harus tahu apa maksud dari ini semua. Tengkorak di rumah tua itu. Ladang mariyuana. Terutama, setan bernama Lusifer.”

Hari itu semua berbalik. Agneta menuruti semua perintah adiknya. Semua. Mereka menguntit dari pepohonan lebat yang terletak tak jauh dari rumah.

Tak lama kemudian, seorang pemuda tampan keluar dari rumah Kakek Tiyo. Dan, hei! Si kembar tidak asing dengan wajah si pemuda. Itu wajah yang ada di foto! Wajah Kakek Tiyo waktu masih muda dulu! Astaga!

Kakek Tiyo muda pergi ke ladang mardiyuana. Mungkin ia bekerja di situ. Si kembar menunggu hingga mulai larut. Mereka mulai kelelahan dan mengantuk Namun saat Kakek Tiyo muda kembali dari ladang, mereka menjadi segar kembali. Kakek Tiyo muda masuk ke rumah sebentar dan kemudian keluar membawa sebuah koper. Ia berjalan ke arah rumah tua yang satunya. Si kembar tak melepaskan perhatian dari Kakek Tiyo.

Sesampainya di sana, si kembar mengintip melalui jendela. Dan seorang pemuda yang seusia mempersilahkan Kakek Tiyo muda untuk duduk dan menawarkan teh. Dan wajah pemuda satunya pun tak asing! Itu sahabat Kakek Tiyo yang juga ada di foto!

Dan saat sahabat Kakek Tiyo itu berbalik hendak ke dapur, Kakek Tiyo muda mengeluarkan palu dari kopernya. Ia memukul kepala sahabatnya hingga mati. Kakek Tiyo muda membereskan mayatnya. Ia membawa mayatnya ke dalam. Si kembar begitu penasaran dan menyusul ke dalam rumah.

Pintu rumah yang tidak dikunci memudahkan mereka untuk masuk. Sesuai dugaan, Kakek Tiyo muda memasukkan mayat sahabatnya ke dalam peti mati rahasia di dinding lorong. Dan ia memalu semua triplek yang ada di rumah itu.

Ketika melihat Kakek Tiyo muda mulai membereskan semuanya dan pulang, si kembar panik dan tak sengaja menyenggol pintu hingga berbunyi keras.

“Siapa itu?” suara Kakek Tiyo muda membuat si kembar terbirit keluar rumah. Kakek Tiyo muda mengejarnya. Namun si kembar berlari dan bersembunyi di ladang mariyuana karena merasa tak ada lagi tempat persembunyian. Akhirnya Kakek Tiyo muda masuk ke rumahnya karena menganggap itu tadi hanya kucing yang iseng.

“Keluarkan kameramu dan foto ladang dan rumah ini! Cepat!” perintah Agneta berbisik. Agnita terburu-buru melakukan perintah kakaknya, meskipun tak tahu untuk apa.

“Sekarang, kita keluar dari tempat ini!” Agneta menarik tangan adiknya dan berlari ke arah rumah sahabat Kakek Tiyo. Kini, Agneta menjadi berani karena kejaran maut di belakangnya.

“Kamu mau apa, Neta?”

“Pulang.”

“Ke mana? Kok malah ke rumah tadi?”

“Kita tadi ke zaman ini melalui apa?”

“Rumah tua itu.”

“Kembalinya juga sama.”

“Kata siapa?”

“Tak akan tahu kalau tak dicoba.”

Sesampainya di sana, mereka berlari kencang ke dalam rumah. Menutup pintu. Berdoa agar dapat pulang. Dengan napas tersengal, keduanya menggenggam gerendel pindu. Saling menatap untuk beberapa lama. Dan membuka pintu itu. Dan sekali lagi, keajaiban datang! Mereka kembali ke rumah itu.

Mereka pun berjalan pulang ke rumah Kakek Tiyo. Dan Bu Irma masih duduk di luar rumah, menunggu si kembar pulang.

“Kalian ke mana saja? Ibu cemas pada kalian. Bapak mencari kalian tapi tak juga menemukan kalian.”

Ada yang lebih penting dari itu, Bu. Kami mau menceritakan sesuatu.”

Tak lama setelah itu, Pak Ismail, Bu Irma, Kakek Tiyo, Agneta dan Agnita talah duduk di ruang tamu, memaparkan semua yang telah terjadi. Beserta bukti foto yang ada.

“Lusifer itu adalah Anda, Kakek Tiyo. Anda yang dengan sengaja menyebarkan cerita Lusifer secara turun temurun pada penduduk desa ini, agar tidak ada yang mendekati tempat di mana Anda mambun uh dan menyembunyikan mayat sahabat Anda sendiri.” Agnita memaparkan hasil pengalamannya. Bu Irma dan Pak Ismail cuma bisa memasang ekspresi terkejut di muka.

Dengan lemas, Kakek Tiyo menjawab, “Aku terpaksa melakukannya. Kalau tidak, ia akan membeberkan rahasia ladang mariyuana itu pada polisi. Ladang itu adalah sumber kehidupan mewah kami berdua saat itu dan tiba-tiba ia bilang mau menyerahkan diri ke polisi. Aku tak bisa membiarkannya karena terlalu serakah. Mungkin kau benar, Nak. Akulah Lusifer itu.”
          
“Bukan Lusifer,” kata Agnita, “Tapi setan nafsulah yang telah mengendalikan Kakek.”

Kakek Tiyo tertunduk malu. Beberapa jam kemudian polisi segera datang dan membongkar rumah sahabat Kakek Tiyo beserta mayatnya. Kakek Tiyo digiring ke kantor polisi. Dan berakhirlah petualangan mengerikan si kembar di Desa Pantai Kecil.

F I N


P.S. :

Tadaa~ Ini cerpen yang kubuat sekitar 7 tahun yang lalu, waktu aku masih berbaju putih abu-abu, hehe. Ini masa di mana aku masih belum tahu bagaimana caranya membuat cerpen yang baik dan benar. Tanpa harus membaca isinya pun tentu kalian sudah bisa menyadari apa yang salah dari cerpen ini, kan? Yep, panjangnya yang nggak kira-kira membuat tulisan ini lebih layak disebut cerita panjang atau cerita bersambung daripada cerpen. Yah, namanya juga belajar. 

Isi cerpen ini tidak ada yang diubah sama sekali. Benar-benar murni tulisanku tujuh tahun silam. Jadi maklumi saja kalau ada beberapa kejanggalan, inkonsistensi, dan adegan yang tidak masuk akal ala ala sinetron Indonesia dari cerpen ini. 

Omong-omong, kalau diperhatikan sejak dulu memang aku sudah punya ketertarikan pada kisah misteri dan tragedi, ya. Kalau kalian membaca cerpen-cerpenku di blog ini, tidak heran kalau kalian banyak menemukan cerpen bernuansa dark. Cerpen ini pun sebetulnya terinspirasi (bahkan rada-rada jiplak) dari salah satu kasus di komik The File of Young Kindaichi yang kumodifikasi habis-habisan. :p

Ah ya, tapi menyenangkan bisa kembali membaca tulisan lama. Semoga kalian yang membaca tulisan ini bisa menikmatinya sebanyak aku menikmatinya juga. :)

Comments

Popular Posts