Ain't a Goodbye


Kesan pertama saya ke orang ini adalah ramah, cukup asyik dan mudah diajak bicara. Tipikal girl-next-door gitu deh. Sebelum ketemu dia, saya sudah dapat spoiler dari salah seorang teman yang juga mengenal orang ini. Dan menurut teman saya, dia bukan tipe pendiam, tapi juga bukan tipe yang gila atau ribut sampai menimbulkan kerusuhan ataupun huru-hara.

Tentu saja spoiler dari teman saya itu membuat saya merasa ditipu habis-habisan. Memang sih, kalau kita baru ketemu pertama kali dengan dia, siapa pun akan menyangka kalau dia adalah cewek kalem dan normal seperti cewek-cewek lain pada umumnya.

Ternyata saya salah..

Salah besar..

Cewek ini berisik bukan main, ekspresif minta ampun, dan bisa melakukan tindakan sememalukan apa pun sampai membuat saya curiga bahwa urat-urat malunya sebenarnya sudah putus dan tidak bisa dibetulkan lagi. Dan sepertinya otaknya juga.

Saya tidak sedang mengatakan dia bodoh. Justru sebaliknya, menurut saya dia pintar, kreatif, dan sering punya berbagai macam akal. Yang saya maksud di sini adalah tentu saja tingkat kewarasannya yang berada dalam kondisi memprihatinkan, yang sepertinya sudah mendarah daging sejak lahir.

Oke. Saya tahu saya sudah menghina dia habis-habisan sejak tadi. Tapi masalahnya, cewek ini memang punya sesuatu yang membuat orang lain mendadak punya desakan kuat untuk mem-bully dia segera, bahkan oleh orang-orang yang sudah biasa ditindas seperti saya. Terbukti dari pengakuannya sendiri yang bilang bahwa sejak dulu dia selalu jadi korban bullying teman-temannya.

Tapi kalau boleh jujur, saya senang bisa menemukan orang yang lebih bully-able daripada saya. Bahkan dia sering tidak sadar kalau dirinya sedang di-bully. Jangan-jangan saat dia membaca tulisan ini pun, dia sedang merasa dirinya dipuji-puji. Gawat juga ya, kalau sudah sampai seakut itu.

Nah, karena saya juga bukan orang jahat, maka saya juga akan mengulas sisi baik dari cewek ini. Jadi meski tingkat kewarasannya agak meragukan, cewek ini sebetulnya tipe anak yang riang gembira, banyak senyum, dan lumayan cepat akrab dengan orang lain. Dia tipe anak yang gampang melakukan pendekatan interpersonal dengan seseorang. Entah bagaimana, caranya berbicara dengan orang yang baru dikenalnya bisa begitu lancar bagaikan air mengalir di sungai yang bersih dari sampah maupun limbah. Nampaknya ada satu bagian dari otaknya yang bertugas menampung milyaran topik pembicaraan, sehingga dia tidak pernah nampak kehabisan bahan yang bisa diperbincangkan. Dan untuk hal ini, sejujurnya saya cukup iri dan berharap bisa punya sedikiiit saja bagian dari skill-nya itu.

Karena sikapnya yang memang hangat dan terbuka, it doesn’t take me so long to accept her as a friend. Tapi dengan kurang ajarnya dia malah resign saat saya sudah merasa berteman cukup dekat dengan dia. Iya, saya memang kesal.

Tapi okelah, berhubung saya tahu ini juga untuk kebaikan dia, saya juga tidak bisa protes banyak. Lagipula saya percaya bahwa ini juga bagian dari rencana Tuhan. Meski singkat dan hanya berteman selama empat bulan, tapi saya cukup senang sempat mengenal orang ini. Dan ada banyak pelajaran yang saya ambil dari hidupnya sebagai sosok yang positif, ramah, religius tapi di saat yang sama juga bisa bersikap cukup open-minded, menyenangkan sebagai teman diskusi, tulus, senang membantu orang yang kesusahan.

Dan yang paling penting, dia memberikan saya makanan ketika saya lapar.

Buat saya, orang yang memberi saya makan saat lapar adalah orang yang baik. Dan itulah alasan utama saya menerimanya sebagai teman…..

Bercanda deng. Hehe.

I’m gonna miss our #WIGmoments and #WIBmoments. Not to mention the English Speaking Club and English Singing Club, wkwk. The club won’t be the same without her silliness. :p

Tahu nggak kenapa saya nggak sedih dengan perpisahan kali ini? Karena saya tahu this isn’t the end of our friendship. As Jenny Han said, ”I don’t have to be so afraid of goodbye anymore, because goodbye doesn’t have to be forever.”

Thank you, Christy. I’ll see you when I see you again.

Comments

Popular Posts