[Cerita Pendek] Sweet Vengeance

Gambar diambil dari sini.

Jika ada satu kata yang punya makna melebihi kangen, sudah pasti itulah yang kurasakan pada Ivan. Sekadar kangen saja tidak bisa menggambarkan apa yang aku rasa. Ivan, laki-laki yang kucintai sejak lama, sudah menantiku di restoran Italia favorit kami berdua dulu. Bagaimana keadaannya sekarang?

Wajahnya tertunduk menatap layar ponsel ketika aku tiba di samping mejanya. Seperti bisa merasakan kehadiranku, dia mendongak. Kilat cahaya penyesalan tertangkap pada matanya. Dan aku tahu mengapa. Namun aku harus menyembunyikannya dulu. Ivan dilarang tahu. 

“Ehm. Apa kabar, Eri?” Tak kusangka dia yang menyapaku lebih dulu saat aku baru duduk di kursi di hadapannya. Meski pertanyaan itu dilontarkan dengan canggung, aku mengangguk. 

“Seperti yang kamu lihat. Kamu sendiri bagaimana?” 

“Yah,” jawabnya sambil menggaruk tengkuknya yang aku yakin sedang tidak gatal. “Aku juga baik.” 

Canggung. Aku tidak pernah memahami ironi bagaimana dua orang yang dulunya pernah menghabiskan banyak waktu bersama-sama kini menjadi orang asing bagi satu sama lain. 

Beberapa detik sepertinya sudah berlalu. Jam tangan yang kulirik barusan menunjukkan pukul 19.14. Yang benar saja? Masa aku baru tiga menit di sini? 

Kuputuskan untuk memesan sesuatu dan mulai membolak-balik menu. 

“Kamu tidak pesan?” tawarku pada laki-laki yang malah sibuk dengan pemikirannya sendiri itu. Aku tahu betul dia sedang mempersiapkan kata-katanya. Kata-kata yang tidak pernah mau kudengar. Tiba-tiba perasaan benciku pada Ivan muncul. 

“Oh, nanti saja, Eri. Kamu saja dulu yang pesan.” Mendengarnya menyebut namaku mau tidak mau membuatku melembut, teringat masa lalu. Saat aku masih menjadi Eri-nya. Saat masih belum ada Eri yang lain yang merampas Ivan dariku. 

Setelah memesan, aku meletakkan menu di hadapanku. 

“Eh, apakah kamu sudah punya pacar lagi, Eri?” 

Aku refleks memejamkan mata perlahan seraya tersenyum dan membukanya kembali untuk menatap wajah polosnya, berusaha mengendalikan marah yang kusimpan-simpan sejak tadi. Dari sekian banyak pertanyaan kenapa harus yang itu yang kamu tanya, Van? 

“Belum,” sahutku sambil mengulum senyum kaku yang sama. “Terlalu banyak mendengar keluh kesah pasangan yang menikah jadi membuatku berpikir dua kali untuk itu.” 

Well.” Ia mengedikkan bahu. “Tapi omong-omong, aku sungguh tidak menyangka bahwa Eri, seorang lulusan teknik kimia terbaik di angkatan dulu, memilih untuk menjadi konselor di gereja. Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya.” Terdengar nada takjub dari Ivan. 

Yea, tak pernah terbayangkan olehku juga,” sahutku mulai tersenyum. 

Suasana di antara kami mulai cair. Aku mulai menceritakan bagaimana sejarahnya seorang Eri, si nomor satu di teknik kimia, bisa menjadi konselor gereja. Ivan juga mulai menceritakan kisahnya di kantor selama beberapa tahun terakhir. Cerita tentang klien-kliennya yang unik. Topik-topik pembicaraan terus bergulir mulai dari kehidupan perkuliahan zaman dulu, dosen-dosen kami dulu, hingga teman-teman yang sekarang sudah sukses menjadi A, B, C, dan seterusnya. 

Sampai akhirnya mimpi burukku datang. Hal yang tidak pernah ingin kudengar langsung dari mulut Ivan pada akhirnya datang juga. 

“Sebetulnya, Eri. Alasanku mengajakmu ke sini, selain karena aku ingin mengetahui kabarmu, juga karena…” Aku menahan napas tanpa sadar seraya memandang piring yang telah kosong di hadapanku, terlalu malas untuk membiarkan hatiku terluka lagi. Ia membungkuk dan mengambil sesuatu di tasnya, lalu menyodorkan kartu persegi panjang berwarna salem dengan ukiran huruf warna emas yang indah. Sebuah undangan. “...karena ini,” sambungnya. 

“Aku ingin mengundangmu ke pernikahanku. 

“Aku ingin kau ada di sana. Di hari paling penting dalam hidupku.” 


Aku ingin mengundangmu ke pernikahanku.. 

Di hari paling penting dalam hidupku.. 


Hari paling penting, huh? Aku menyeringai. 

Butuh jeda beberapa detik sebelum suaraku, yang kuharap kegetirannya tidak terdeteksi, terdengar. 

“Tentu, Ivan.” Kutarik otot bibirku ke kanan dan kiri sealami mungkin, berharap senyumku tidak terlihat terlalu mengerikan. Kuambil undangan itu. “Aku akan ada di sana. Di hari pernikahanmu.” 

Ivan tersenyum. Tatapan resah yang kulihat di awal tadi mulai memudar. “Ini sudah larut. Mari kuantar kau pulang.” 

Aku menggeleng. “Aku masih mau di sini. Kamu duluan saja.” 

“Baiklah. Kalau begitu aku pamit.” Ivan tersenyum sebelum mengangkat tasnya pergi. 

“Ivan.” Panggilanku membuatnya menoleh. “Tiga bulan lagi kamu menikah. Bagaimana perasaanmu?” 

Ivan tersenyum. Dengan binar bahagia yang nampak demikian jelas di matanya dia berkata, “Aku merasa... kini aku tahu menjadi laki-laki paling bahagia di dunia itu seperti apa.” 

Aku mengangguk. Ivan melangkah menuju pintu. Dengan yakin. Tanpa ragu. Tidak berbalik. Tidak menanyakan bagaimana perasaanku. Meninggalkanku dengan hati yang rusak tanpa tahu cara memperbaikinya. 

Oh, Ivan. Ketidakpekaanmu memang satu-satunya kelemahanmu sejak dulu. 

Tidak mau merasa sedih lebih lama lagi, aku pun meninggalkan restoran setelah Ivan pergi. Aku menyetir ke arah apartemenku. Ketika sudah hampir sampai, aku mempercepat laju dan melewatinya. 

Aku harus pergi ke suatu tempat. 

Mobilku terus melaju di jalan aspal, hingga ke daerah yang agak dalam dan sepi dengan jalanan yang mulai menyempit. Lampu jalan semakin tidak terlihat lagi. Demikian juga dengan rumah-rumah penduduk. Setelah menyetir selama 40 menit aku berhenti di depan sebuah pondok kayu terpencil. 

Aku menemukannya beberapa bulan yang lalu dan sudah memeriksanya dengan cermat. Terpencil. Tak berpenghuni. Tapi cukup aman. Cocok untukku melakukan proyek saat ini. 

Tadinya pondok ini nampak seperti gudang berisi beberapa rongsokan, tapi kini sudah kurapikan. Aku mendekati meja kayu terdekat dan melemparkan undangan pernikahan Ivan di atasnya. Pandangan mataku terarah pada tumpukan banyak kantung plastik hitam di dekat meja. Aku mengambil salah satunya, lalu membongkar isinya. Serbuk warna dengan pipa paralon besi sepanjang 15 senti dengan kabel yang terhubung ke sebuah tombol. 

Aku kembali menekuni rakitan bom yang tengah kukerjakan. 

Nikmati perasaanmu sekarang, Ivan. Karena dia tidak tahu bahwa tempatnya menikah adalah gereja tempatku melakukan praktik konseling. Karena dia tidak tahu bahwa hari ketika ia menjadi seorang suami adalah hari ajalnya menjemput. 

Tunggulah. Kita akan berjumpa dan bersama lagi di kehidupan selanjutnya. 

F I N

Comments

Popular Posts