Untuk Selalu Mengingatmu

Gambar diambil dari sini.

Hai, Teman..

Hari ini tepat satu minggu setelah kamu resmi tidak menjadi karyawan tetap di sini lagi. Bagaimana perasaanmu sekarang? Masih mengawang seperti yang kamu bilang padaku waktu itu? Aku menanyakan ini karena, hmm…aku sempat berpikir, kalau sampai sekarang pun kamu masih merasa mengawang, dan tidak merasakan hal lain, mungkin kamunya saja yang tidak punya perasaan (?) Hahaha. Aku bercanda kok. Tapi kuharap, apa pun yang kamu rasakan sekarang, itu adalah perasaan yang positif.

Aku senang bisa menghabiskan last day bersama kamu dan teman-teman yang lain. Ya, pada akhirnya aku tidak menyesali keputusanku untuk bergabung dengan kalian malam itu. Kupikir aku patut berterima kasih pada salah satu teman yang sudah mengajak, meyakinkan, bahkan sampai mengancamku untuk ikut. Setidaknya aku bisa terhibur dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sepanjang malam itu.

Kegiatan favoritku? Tentu saja saat bisa bermain gitar lagi denganmu. Eh, mungkin tidak. Kurasa bagian terbaiknya adalah saat bisa melihatmu kembali bermain gitar. Aku baru sadar bahwa aku senang melihatmu memainkan alat musik enam senar itu. Kamu tahu, kamu adalah pemain gitar perempuan paling hebat yang pernah kukenal. Melihat jemari kecilmu—yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dari setengah jemariku itu—memainkan gitar dengan lincah membuatku kepingin jadi sejago dan sekeren itu juga. Nah kan, lagi-lagi aku kagum sekaligus iri di saat yang sama padamu.

Aku juga senang mendengarmu main sambil menyanyikan lagunya. Tapi untuk alasan yang tidak kuketahui, kamu lebih sering memintaku yang bernyanyi, atau menyetel lagunya sekalian ketika memainkannya. Padahal suaramu lebih bagus daripada aku. Tapi sumpah, aku tidak melebih-lebihkan ucapanku. Kamu memang sejago itu kok. Tapi kamu tahu di mana bagian terkerennya? Saat kamu memiliki semua kelebihan yang kusebutkan barusan, tapi malah memilih untuk tidak showing off. Seperti biasa. :)

Aku bersyukur masih memiliki kesempatan menghabiskan waktu bersamamu dan gitar. Meski kita justru melakukannya pukul 2.30 pagi, dan otak kita sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk memainkan chord yang benar, aku tetap merasa bersyukur. Hanya saja, mungkin kita perlu memilih waktu yang lebih pantas untuk main lain kali. Hehe.

Ah iya, bicara soal lain kali, sejujurnya saat itu sudah ada pertanyaan yang siap melompat keluar dari ujung lidahku. Tapi aku urung menanyakannya. Pertanyaanku adalah… Apakah kita masih punya ‘lain kali’ untuk melakukan aktivitas menyenangkan semacam ini? Aku sudah ingin bertanya. Sungguh. Tapi kan, aku malas juga kalau ternyata jawabannya malah membuatku sedih nantinya. Terkadang aku merasa ada hal-hal yang sebaiknya jawabannya tetap menjadi misteri saja. Tidak perlu diketahui dengan pasti, sehingga aku tidak perlu berharap. Ya, tidak? Bagaimana menurutmu?

Tanpa terasa malam itu berakhir dan jam kayu di dinding rumahmu mulai menunjukkan bahwa hari yang baru akan dimulai. Menjelang fajar aku baru pergi tidur. Dan ketika pagi benar-benar tiba, dan ketika aku tahu sudah waktunya untuk pulang dari rumahmu, rasanya saat itu aku baru mengakui kepada diri sendiri bahwa situasi ini memang sedih. Berpisah denganmu itu sedih.

Beberapa hari sebelumnya, salah seorang teman kita yang lain menyarankanku untuk ikut menghabiskan last day bersamamu dan ketika itu dia bilang, bahwa dengan begitu, aku baru akan bisa melepaskanmu dengan tenang. Hahaha. Kata-katanya memang sedikit ambigu tapi aku paham apa maksudnya. Satu-satunya yang tidak kupahami di sini adalah, pada kenyataannya meski aku menuruti sarannya, aku merasa tetap tidak bisa ‘melepaskanmu dengan tenang’ seperti yang dia katakan.

Tapi ada satu hal lagi yang dia pernah katakan, bahwa aku semestinya senang dengan kepergianmu. Karena itu berarti kamu sudah bebas dari kesengsaraan di sini dan akan mendapatkan hal yang jauh lebih baik daripada di sini. Well, sebaiknya begitu. Karena cuma itu satu-satunya hal yang membuatku sedikit bisa merelakan. Aku meyakinkan diriku sendiri, that you’ve left for better life, waaay better.

Kalau-kalau kamu ingin tahu, aku bisa bilang hidup kami di sini tetap berjalan seperti biasa. Oh ya, tentu saja. Bisnis harus tetap berjalan. Uang harus tetap mengalir. Kecuali kiamat datang, hidup tidak mungkin berhenti berputar, bukan? Aku tidak tahu bagaimana perasaan teman-teman yang lain menanggapi kepergianmu hingga saat ini. Yang jelas mereka juga kehilangan. Yaa, lagipula siapa sih di kantor ini yang tidak merasa kehilanganmu, meski hanya sedikit? Lihat kan, betapa signifikan dampak yang kamu timbulkan pada kami di sini.

Kalau aku sih, hmm… aku mau bilang kalau aku baik-baik saja, tapi itu bakalan jadi kebohongan paling buruk yang pernah kukatakan. Aku masih berusaha membiasakan diri. Masih berusaha meyakinkan diri kalau aku baik-baik saja. Atau setidaknya, meyakinkan diri bahwa aku bakal baik-baik saja.

Tapi rasanya aneh. Aneh karena sekarang ketika aku datang ke kantor di bawah pukul tujuh (iya, penggalian jalan dekat rumahku masih berlangsung dan aku masih terus datang pagi ke kantor), aku sudah tidak menemukanmu lagi yang sedang duduk-duduk di staff area. Rasanya aneh karena sekarang sudah tidak ada mahkluk iseng yang senang gentayangan di sekitarku hanya untuk menepuk-nepuk punggungku saat aku sedang duduk bekerja, atau saat sedang makan. Disusul dengan tawa puas menyebalkan yang kamu tampilkan saat berhasil membuat makan siangku terganggu. Well, bukannya aku kepingin dipukul-pukul sih. Aku kan bukan masokis. Setidaknya sekarang aku tidak perlu takut akan tersedak setiap kali makan siang. Tapi ketika kita sudah terbiasa akan sesuatu, lalu saat sesuatu itu mendadak hilang, rasanya aneh sekali.

Sama anehnya ketika aku mampir ke ruanganmu dan mendapati mejamu kosong di sana. Segalanya sudah rapi dan bersih. Tanda bahwa tempat itu sudah tak berpenghuni lagi.

Dan saat aku menunggu-nunggu semua itu. Menunggu kehadiranmu di kantor. Menunggu kejahilanmu kapan pun itu. Menunggu untuk bisa menemukanmu di dalam ruangan. Aku sadar bahwa semua itu tidak akan terjadi lagi. Aku tidak akan menemukanmu lagi sebelum jam tujuh di staff area. Aku tidak bisa lagi berusaha membalas kejahilan yang kamu lakukan. Dan aku takkan melihatmu lagi di sudut mana pun di kantor ini. Semua itu tidak bakalan terjadi lagi.

Kemudian seolah-olah kenyataan baru saja membuatku berhenti denial….. dan membuatku sadar juga bahwa kamu benar-benar sudah pergi dari kantor ini.

Hell, that’s the worst feeling ever.

Waktu salah satu teman kita resign, aku juga sangat sedih dan saat itu kamu bilang “It’s okay to be sad.” Hingga kini aku masih mengingatnya dengan baik. Tapi pertanyaanku selanjutnya adalah… Is it okay too, to cry a lot? Because I did.

Kamu bilang, sehari-dua hari setelah kamu resign, aku pasti sudah lupa padamu. Hahaha. Kamu pasti bercanda. Seperti yang aku pernah sampaikan, aku akan kangen padamu setiap hari. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Dan aku tahu aku akan menulis surat setiap kali aku kangen padamu. Seperti sekarang ini. Mungkin tidak selalu akan ku-publish di sini. Mungkin ada kalanya aku ingin menceritakan hal-hal yang sifatnya personal dan tidak mungkin diketahui khalayak ramai.

Tapi aku akan terus menulis. Untuk membuatku tetap waras, tentu saja. Dan untuk selalu mengingatmu.



Jakarta, 16 September 2016 



P.S. : Semoga kamu menikmati waktu-waktu terbaikmu di kota favoritmu Bandung.


Comments

Popular Posts