Hidup Selamanya dalam Tulisan

Gambar diambil dari sini.

Identitas introvert tersemat di dada. Itulah satu kata yang ia percaya dapat menggambarkan dirinya secara penuh. Betah berada dalam dunianya sendiri. Fantasi adalah rumah nyaman nomor dua. Sanggup menelannya dalam kebisuannya yang panjang, tapi bermakna. Tertutup, itu juga dirinya yang lain. Lebih senang menari-narikan jemari di atas keyboard laptop, untuk sekadar menumpahkan isi otak dan luka hati seutuhnya di sana, membiarkan relung-relung jiwanya kosong sejenak, ketimbang duduk berbincang dan membicarakan rahasia-rahasia terpendam yang hanya diketahui olehnya dan Tuhan. Meski kadang kesendirian juga bisa terasa menyesakkan. Ketika kesunyian nampak seperti kemegahan paling indah, bahkan sepi bisa terasa lebih damai dari nirwana, sesungguhnya tampuk kebahagiaannya tak lebih dari keinginan untuk menyukakan hati manusia-manusia di dekatnya.

Ada kalanya ia menyimpan kisah bagi dirinya sendiri. Bukan karena tidak bisa membagi. Juga bukan karena tidak mau mengungkap. Tapi semata-mata hanya rasa takut yang terus merantai siang dan malam seperti berkata ‘tidak akan ada yang memahami’. Berbagai macam topeng bisa dikenakan. Ada kesukaan. Ada kebahagiaan. Ada keceriaan. Ada tawa. Tapi keberanian terlalu sedikit dirajut untuk dikenakan, membuatnya tidak pernah berani mengenakan keberanian dan menanggalkan topeng yang ia kenakan untuk menunjukkan rupa yang sejati di baliknya.

Ia idealis. Ia senang bermimpi, mengimajinasikan segala sesuatu, mengkhayalkan bagaimana seharusnya sebuah dunia berjalan. Seperti apa seharusnya segala sesuatu terjadi. Sampai akhirnya terbujur dalam kecewa, semata-mata karena dunia tidak mengerti dirinya dan segala luka yang tak terperi. Memang, ia seringkali lupa bahwa semesta punya skenario sendiri untuknya. Bahwa masih ada sesosok yang biasa disebut Tuhan yang juga punya andil terbesar dalam menentukan takdir dan masa depan.

Dan pada akhirnya, ia tetap tidak menemukan orang lain yang mampu memahami perasaan ‘berbeda’ dan idealisme yang menghentak-hentak, minta dibebaskan dari dalam dirinya. Ada keinginan yang tak tersalurkan yang takkan pernah diterima realita. Ia lalu memutuskan untuk menuliskan delusinya sejenak. Dan membiarkannya hidup selamanya dalam goresan tinta di atas kertas.

Comments

Popular Posts