[Cerita Pendek] Maya

Gambar diambil dari sini.

Sedari tadi gue cuma menatap bungkusan-bungkusan plastik kecil berisi berbagai kapsul dan pil di sisi kanan meja kerja, di samping serakan kertas-kertas partitur lagu yang sedang gue coba tulis liriknya. Gue melirik jam yang tergantung di dinding kamar tidur. 22.43 WIB. Seharusnya empat jam yang lalu kapsul dan obat tersebut sudah berada di dalam lambung. Siap dicerna. Dan seharusnya akan menghantarkan efek-efeknya ke area syaraf. Tapi gue sama sekali nggak berniat mengambil bungkusan-bungkusan obat itu. Mengarahkan tangan ke sana pun ogah rasanya.

Dua minggu sudah gue mengerjakan lirik lagu ini. Gue mengetuk-ngetukkan jari jemari di atas meja. Berpikir keras sambil sesekali mencengkeram pensil dalam genggaman. Otak gue menjadi sulit sekali diajak berpikir akhir-akhir ini. Dan semua berkat obat-obatan terkutuk itu.

“Gilang.”

Mendadak gue mendengar sebuah suara berat berwibawa memanggil gue, disusul dengan suara gerendel pintu yang dibuka. Detik itu juga gue terkesiap, membuat seluruh otot-otot tubuh gue bereaksi kilat. Dengan panik gue menyambar bungkusan-bungkusan itu dan mendorongnya jatuh ke lantai. Diiringi dengan gerakan kaki yang dengan gesit menendang-nendang bungkusan itu masuk ke dalam kolong tempat tidur. Dengan tegang gue menatap tegak sosok laki-laki tak berambut dan bertubuh agak gempal berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu sendiri sedang sibuk mengutak-atik ponsel di tangannya. Mengetik sesuatu di atas layar touchscreen-nya selama beberapa detik. Setelah itu barulah ia mendongak sambil tersenyum ke arah gue. Namun dalam beberapa detik senyumnya memudar. Digantikan dengan sorot mata kebingungan dan kerutan di kening.

“Kamu kenapa?” Secara refleks gue mengendurkan semua otot-otot yang berkontraksi mendadak tadi. Sekujur badan gue perlahan menjadi lebih santai.

“Enggak kenapa-kenapa, Pa,” dusta gue lancar seperti aliran air sungai. Tanpa berpikir. Tanpa adanya ekspresi gugup di wajah. Yep, gue memang sering membohongi bokap soal ini. Saat melihat bokap yang asyik mengutak-atik ponsel di ambang pintu tadi, gue jadi sedikit lega. Sepertinya bokap tidak sempat melihat aksi ricuh gue barusan. Dan saking handalnya, kebohongan gue sama sekali nggak pernah tercium oleh bokap. Dia mengangguk singkat sebelum menghampiri gue dan melihat progress yang sedang gue kerjakan.

“Lagu baru?” ucapnya seraya mengambil salah satu kertas partitur dan menggumamkan nada-nada yang tertera di atasnya.

Gue mengangguk kecil. “Sedikit lagi selesai. Tinggal ditambah lirik. Gimana menurut Papa?”

Bokap nampak berpikir. “Mm, boleh juga. Mau Papa bantu untuk liriknya?”

Gue menggeleng cepat. Gue paling anti kalau karya yang dari awal gue rencanakan dikerjakan sendiri mendadak dicampuri oleh orang lain. Meskipun itu bokap gue sendiri. “Enggak, Pa. Aku bakal selesain ini sendiri.”

Bokap hanya mengangkat satu alis dengan tatapan yang masih menekuri kertas partitur.

“Oke kalo gitu.” Bokap meletakkan kertas partitur di atas meja. “Jangan lupa istirahat, lho. Papa cuma mau ngecek anak Papa yang ngerem dari tadi pagi di kamarnya ini masih waras apa nggak.”

Hati gue terasa tersentil sedikit mendengar ucapan terakhir bokap. “Aku fine, Pa,” sahut gue singkat, kembali berdusta. Semoga bokap nggak menyadari adanya sedikit ketajaman nada suara gue barusan. Dan entah nada tajam gue memang kurang tajam atau bokap yang nggak pernah peka, dia langsung meninggalkan kamar setelah menggumamkan kata oke.

Sepeninggalnya bokap, gue berpikir selama sejam, tapi gue tetap nggak menemukan lirik yang tepat. Gue menghapus lagi lirik yang udah ditulis, berpikir lagi, menulis lagi, dan dihapus lagi. Siklus itu terjadi berulang-ulang sampai gue jengah. 

Aarghh! Rasanya kepala gue panas dan siap meledak. Gue mulai menarik-narik rambut gue hingga menimbulkan rasa sakit akibat kulit kepala yang tertarik. Seolah dengan ditariknya rambut, seluruh sel-sel otak gue bisa kembali pada kreativitasnya. Gue menghela napas sambil memijit-mijit kepala sejenak. Kepenatan ini harus dibuang. Gue merasa perlu udara segar. 

Beberapa detik kemudian gue mengambil jaket dan kunci motor dan berjalan ke luar rumah.

Udara malam Jakarta dan kebut-kebutan motor di jalan adalah dua hal yang sering gue lakukan di kala frustrasi. Tanpa sadar gue melaju ke arah Menteng. Memang ada satu tempat yang selalu gue kunjungi di kala penat. Taman Suropati. Alasannya sederhana, karena sesungguhnya tempat ini punya banyak kenangan manis. Tapi juga berlumur pahit setiap kali dikenang, karena kenangan itu cuma akan jadi...kenangan. Nggak akan balik lagi seperti dulu sebagaimana kenangan itu pernah nyata.

Sesampainya di sana, gue duduk di atas tempat favorit gue. Beralaskan rerumputan dingin di sana, gue berbaring sambil menjadikan kedua tangan sebagai bantal kepala. Sayup-sayup gue mendengarkan suara serangga-serangga di pepohonan, obrolan orang-orang yang juga masih nongkrong di taman itu, dan suara kendaraan yang lalu lalang. Jakarta nggak pernah tidur. Dan gue senang akan fakta itu, karena Jakarta terasa lebih nikmat di malam hari.

“Gilang!” Seruan lembut seorang gadis menembus suara-suara sayup tadi, membuat gue membuka mata dan mendapati sepasang manik mata yang—meski dalam kegelapan—gue yakini berwarna coklat.

“Maya,” sapa gue tersenyum sambil beringsut bangun. Sosok gadis ini benar-benar mengingatkan gue betapa rindunya gue pada gadis ini.

Maya adalah perempuan kedua yang paling gue syukuri di dunia ini, setelah almarhumah nyokap yang udah kembali ke pangkuan Tuhan sekitar 5 tahun lalu. Gue dan Maya sudah saling mengenal selama lebih dari setengah tahun. Percakapan demi percakapan dan pertemuan demi pertemuan membuat gue perlahan-lahan berhasil menutup jejak seseorang yang sebelumnya pernah ada di benak dan hati gue. Perlahan tergantikan oleh sosok Maya yang segera gue jadikan pacar dua bulan yang lalu. Maya seorang gadis cantik perpaduan kaukasoid-mongoloid. Ayahnya keturunan asli Amerika Serikat, sementara ibunya keturunan asli suku Jawa. Dia memiliki seraut wajah yang cantik, mata yang lebar dan indah lengkap dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung, serta bibir tipis yang mampu mengulas senyum manis memesona. Seluruh perpaduan yang akan selalu mengingatkan gue pada... Nara.

Maya dan Nara. Dari segi fisik, mereka memang memiliki kemiripan yang cukup banyak, tapi bertolak belakang secara sifat. Nara, dia adalah gadis pertama yang membuat gue jatuh cinta, pun gadis pertama yang membuat gue patah hati. Hari-hari bersama Nara dahulu selalu menjadi hari-hari yang paling membahagiakan. Dia semangat baru untuk gue menyambut hari. Matahari terbit selalu mengingatkan gue untuk bersyukur karena itu pertanda bahwa masih ada satu hari lagi yang masih bisa gue jalani bersama Nara. Sampai suatu hari dia memutuskan bahwa dia nggak pernah merasa cocok menjadi pacar seorang musisi. 

Nara nggak pernah betah berada di depan layar kamera, disorot media, diberikan komentar-komentar—baik yang menyenangkan maupun yang menusuk telinga, dan segala hal yang terkait dengan ketenaran. Dan dia menginginkan pacar yang hanya menjadi miliknya, bukan yang harus dibagi bersama ribuan gadis lain. Nara meminta gue memilih antara dia atau dunia musik yang gue geluti. Segala penjelasan yang gue berikan nggak cukup untuk menahan dia pergi. Dan pada akhirnya, kami berakhir dengan menempuh jalan yang kami pilih masing-masing. 

Maya mengambil tempat di samping gue. Tampilan mini dress yang menjadi trademark-nya sehari-hari nggak membuatnya risi karena harus duduk di atas rerumputan, menyentuhkan kulitnya dengan dinginnya dedaunan hijau. Maya perempuan paling sempurna bagi gue. Dia memahami kesibukan gue, tapi selalu ada saat gue perlu. Dia pernah bilang nggak keberatan menyandang beban sebagai pacar seorang musisi, juga nggak pernah menolak saat gue ajak ke tempat ala kadarnya. Misalnya seperti sekarang ini.

Mendadak rasa sesak memenuhi rongga dada gue. Menusuk-nusuk tanpa ampun. Meski ini bukan sakit secara fisik, tapi tetap berhasil membuat gue meringis. Alasannya satu : Maya perempuan yang kehadirannya terlarang di hidup gue.

Gue teringat ucapan dokter Putra. Juga ucapan sahabat terbaik gue, Harvi, yang berinisiatif membawa gue kepada dokter rekan kerja ayahnya itu, semenjak dia mengetahui siapa Maya sebenarnya.

“Segalanya berporos pada satu masalah yang sama. Nara.”

Ucapan dokter Putra yang itu sering menggema di telinga gue beberapa minggu ini. Namun malam ini, kalimat itu menjadi lebih menyakitkan. Ibaratnya seperti ini, Nara bagaikan racun yang menjadi akar masalah. Dan ketika gue mendapatkan Maya sebagai obatnya, ternyata itu obat yang salah, yang justru menjerumuskan gue tambah dalam ke lubang depresi. Membuat gue menjadi sulit berpikir. Maya dengan segala masalah yang gue alami menjadi kabut yang menutupi otak, menghalangi segala aktivitas dan kecintaan gue dalam berkarya.

Tapi untuk itulah malam ini gue memutuskan untuk nggak meminum obat gue. Untuk itulah gue ke sini sekarang. Dan untuk itulah gue menemui Maya. Semua harus diakhiri. Gue akan berdamai dengan diri gue sendiri, seperti yang dikatakan Harvi.

“Selesaikan ini dengan Maya,” ucapnya dengan raut wajah kaku. Di wajahnya tergambar jelas, Harvi merasa sangat aneh dengan menyinggung nama Maya yang tidak pernah dia temui, dan tidak akan pernah bisa dia temui. “Setelah elo bicara sama dia mungkin elo akan lebih tenang, karena udah mengucapkan perpisahan. Seperti yang dibilang dokter Putra, Lang, mungkin dia nggak akan langsung ngilang. Dia nggak akan terima gitu aja. Tapi setidaknya elo udah mengucapkan perpisahan dan semua selesai. Elo bisa berkonsentrasi sama pengobatan lo.”

“Aku kangen kamu.” Belum apa-apa Maya sudah menyampirkan dirinya di badan gue, membuat gue merasa nyaris luluh. Gadis ini yang menemani gue selama gue bergelut dengan kesedihan atas kepergian Nara.

Gue mendesah pelan, sebelum akhirnya duduk tegak seraya mendorong Maya pelan dari gue. Setelah itu gue menyapukan pandangan ke sekeliling. Tindakan ini adalah standar prosedur yang selalu gue lakukan kalau bertemu Maya di tempat umum seperti ini. Karena kalau ada yang melihat tindakan barusan, mereka cuma akan melihat gue yang sedang mendorong udara kosong. Gue mendongakkan wajah perlahan sambil memanfaatkan setiap detiknya untuk meneguhkan hati. Setelah menarik napas dalam-dalam, gue menghembuskannya dalam satu kalimat.

“May, setelah ini sebaiknya kita jangan ketemu lagi, ya.”

Maya ternganga mendengar ucapan gue. Ekspresi wajahnya perlahan berubah dari terkejut menjadi memberengut. “Tapi, kenapa?”

Belum sempat gue menjawab, Maya sudah menyela dengan sengit. “Aku tahu! Pasti karena Nara kan? Kamu masih belum bisa lupain dia kan?!”

Gue menggeleng frustrasi. Menjalani skenario ini ternyata lebih berat dari yang gue bayangkan sebelumnya. “Bukan cuma karena Nara, May. Aku—”

“Aku cuma pelarian kamu, ya kan?! Aku ini percobaan. Apa dengan adanya aku kamu bisa melupakan Nara atau nggak. Dan ternyata hati kamu selalu ada buat Nara. Nggak pernah ada aku!”

Maya memberondong kalimat-kalimat yang membuat gue tertegun sesaat. Dengan lantang gue langsung membalikkan kata-katanya dengan nada agak tinggi, “Kamu memang nggak pernah ada, May. Kamu bener.” Gue menelan ludah sejenak. “Bahkan selama kita jadian pun, hati aku memang akan selalu menjadi miliknya Nara. Kamu ada karena Nara juga. Kamu nggak lebih dari hasil halusinasiku. Sebegitu inginnya aku bersama Nara, sampai-sampai menciptakan sosok Nara yang aku impikan di dalam kamu. Aku berharap punya Nara yang bisa memahami aku, yang bisa menerimaku sebagai musisi, yang bisa selalu ada untuk ditemui, yang akhirnya kutuangkan ke dalam... kamu.”

“Siapa yang kasih tahu kamu soal itu??” Maya membelalakkan mata. “Aku Maya, selama ini ada nemenin kamu. Buka mata kamu. Aku nyata, Gilang. Aku nyata!”

Gue memejamkan mata. Mulai gemetaran karena berkali-kali gue goyah. Maya memang terasa nyata. Dia selalu terasa nyata. Sayangnya, sebulan yang lalu gue mengetahui bahwa indera gue yang bertugas untuk menyensor kenyataan dan realita ternyata telah rusak.

Sorry, May. Ucapan apa pun dari kamu nggak akan membuat aku mengubah keputusanku. Aku harus melanjutkan hidupku. Aku harus terima realita, bahwa Nara memang udah pergi dan kamu enggak pernah benar-benar nyata.”

Maya menatap gue dengan ekspresi tidak percaya.

“Sekali lagi aku minta maaf, May. Thanks buat segalanya selama ini.” Gue terdiam sejenak. “Setelah ini aku nggak akan temui kamu, atau bicara sama kamu lagi. Tolong kamu ngerti.”

Gue nggak menunggu jawaban Maya, melainkan segera membalikkan badan sambil merapatkan jaket yang gue kenakan. Setelah itu, gue langsung menduduki jok motor, melajukannya kencang membelah angin.

Sesampainya di kamar, gue mengambil bungkusan obat antipsikotik yang diresepkan oleh dokter Putra dan meminumnya. Lalu cepat-cepat mematikan lampu dan tertidur. Berusaha mengabaikan kehadiran Maya yang sedang mematung dan memperhatikan, yang gue rasakan di sudut kamar.

P.S. :
Cerita ini ditulis untuk diikutsertakan dalam program #HerrommyQuiz dari @herrommy

Comments

Popular Posts