Aku, Mimpi, dan Kamu

Gambar diambil dari sini.

Bagiku sapaan halo terasa canggung untuk dilontarkan. Dan pertanyaan apa kabar hanya akan memperparah keadaan itu. Tapi rasanya aku tahu kamu baik-baik saja. Tidak penting nampaknya menanyakan kabar. Bukan, bukan karena aku yang tidak peduli. Hanya saja, bukan itu tujuan dari tulisan ini. Bukan untuk mengetahui kabar yang informasinya dengan mudah bisa kuperoleh dengan kecepatan jaringan teknologi di era ini, dan sudah berhasil mempermudah hidup serta menyukakan hati para generasi Y. Bukan, bukan untuk sekadar basa-basi semacam itu.

Aku hanya ingin mengenang, atau mungkin melihat, seberapa jauh kehidupan telah membawa kita melalui rute hidup yang kita pilih masing-masing. Iya, aku masih menyisakan detik untuk sekadar mengorek-ngorek kembali ingatan masa laluku tentang orang-orang yang pernah menjadi yang cukup penting dulu. Benar, terkadang aku masih menyempatkan diri untuk mengingatmu di antara jeda. Tapi, sekali lagi, hanya untuk melihat sejauh mana jalan panjang kehidupan telah membawa kamu, juga aku.

Kapan terakhir kali kita bertatap muka, berjumpa secara riil, mata berhadapan dengan mata? Mungkin lima tahun lalu? Entahlah. Rasanya baru kemarin perjumpaan pertama kita, bukankah? Aku juga tidak ingat kapan persisnya. Tapi nyaris satu dekade. Nyaris satu dekade berlalu semenjak perjumpaan pertama itu. Saat kedua mata kita masih memancarkan binar keluguan. Saat jiwa muda kita masih meletup, membakar dan memanaskan semangat yang berapi, mematangkan segenap kenaifan masa remaja yang menggebu. Saat kita masih berbalutkan putih biru dan dasi, serta ransel yang sedemikian pasrahnya pada gaya gravitasi, tapi tetap menggantung dengan kokoh di punggung. Saat kedua otak kita masih sibuk merajut mimpi dan asa.

Sesungguhnya, entah bagaimana aku merasa kita dihubungkan dengan garis mimpi yang sama. Meski melalui rute berbeda, aku tahu kita punya satu visi dan cita yang hampir sama. Dan nyaris satu dekade kemudian, aku melihat bahwa rute kehidupan yang kamu pilih telah lebih dulu membawamu mencapai sebagian mimpimu. Iya, aku melihatnya. Kamu berhasil menarik kakimu dari negeri ini dan dengan kerja keras menjejakkannya di negeri orang, tanah yang tidak pernah kamu pijak sebelumnya, kehidupan dan kebudayaan yang tidak pernah kamu temui sebelumnya, langit yang tidak pernah kamu lihat sebelumnya, serta oksigen yang tidak pernah kamu hirup sebelumnya.

Sementara aku masih harus bekerja keras menelusuri dengan giat rute hidupku, bahkan kini masih harus dengan gigih memperjuangkan lima karakter bergengsi untuk ditempatkan di belakang nama. Kamu tidak tahu betapa sulitnya bagiku hanya untuk meraih seonggok gelar yang sanggup memegahkan hati orangtua itu. Tidak, kamu takkan pernah tahu. Katakanlah aku si tukang iri, tapi terkadang rasanya semesta memang memperlakukanmu lebih baik daripada aku.

Huft.

Meski demikian, aku senang. Aku ikut bahagia melihatmu kini tidak hanya menuliskan mimpi-mimpimu seperti aku, melainkan sudah menuliskan pengalaman nyatamu tentang betapa hebatnya mimpi yang jadi kenyataan itu.

Semoga sekiranya suatu hari nanti, dengan izin Tuhan, aku juga bisa mencicipi mimpi yang sudah berhasil kamu raih kini. Semoga anganmu yang telah nyata saat ini bisa menjadi realita pula di duniaku kelak. Semoga mimpi yang telah kamu hidupi kini bisa menjadi bagian dari skenario hidupku suatu saat nanti.

Semoga.

Comments

Popular Posts