Behind the Emotionless Face

Punya kenalan orang yang nampaknya memiliki ekspresi datar atau nyaris tidak pernah menunjukkan gejala-gejala emosi apa pun di wajahnya? Kalau jawabannya tidak, well, hello! Kini kalian mengenal satu. :D

Terus terang, menurutku sih (setidaknya ini yang terjadi padaku), kalau ada seseorang yang seperti itu, bukan berarti dia benar-benar tidak punya emosi. Hanya saja, emosinya disimpan rapat-rapat dalam hati. Jadi ketika kamu mengabarkan satu berita dukacita dan dia cuma berkomentar, “Astaga,” tanpa mengangkat alis atau membelalakkan matanya, bisa saja sebenarnya dalam hati jantungnya serasa mencelus karena berita itu. Seperti itulah.

Payahnya, aku bukan saja tidak pandai mengekspresikan emosi di wajah, tapi juga tidak berbakat menunjukkan emosi melalui pesan verbal yang langsung diucapkan. Kalau lewat tulisan sih, kalian bisa lihat sendiri betapa lincahnya aku merakit berbagai macam kata untuk menyampaikan apa yang kupikirkan atau kurasakan. Sayangnya, sepertinya aku tidak diberkahi kemampuan yang sama dalam versi ucapan dari mulut.

That’s why I enjoy writing more than talking. Bahkan untuk sekadar curhat saja, aku lebih suka mengetiknya di chat untuk dibaca temanku dibanding menceritakannya langsung lewat mulutku. 
-______________-

Aku nyaris tidak pernah bilang I love you kepada siapa pun. Bilang loh ya, bukan menulis atau mengetik. Yeah, aku nyaris tidak pernah mengungkapkan perasaan sayang itu, bahkan kepada ibu atau adikku sendiri. Ironisnya, baik adik dan ibuku adalah orang yang tidak akan malu-malu untuk saling memeluk, mencium, dan mengucapkan kata-kata sayang, sesuatu yang aku rada anti.

Pernah satu kali di sebuah acara gereja khusus untuk para orangtua, seorang MC memintaku menyampaikan rasa sayangku kepada ibuku yang hadir di acara tersebut dari atas panggung! Terang saja aku kalang kabut dalam hati, meski kalaupun kalian melihat wajahku saat itu tentunya perasaan kalutku takkan terlihat. Dengan tersendat-sendat aku menyebutkan apa saja yang sudah ibuku lakukan untukku dari kecil hingga sekarang (meskipun basi banget sih, karena rata-rata hal yang kusebutkan berkisar soal melahirkanku atau menyekolahkanku). Dan di akhir pidato singkatku, aku, dengan awkward, mengatakan “I love you, Mi.” Bahkan suaraku terdengar kaku di telingaku sendiri.

Aku yakin deh aku pasti kaku banget, soalnya waktu pulang ibuku langsung bilang kalau aku seperti tidak tulus mengucapkannya. Hhh. Memang derita anak ‘datar’.

Lalu adikku. Ini hari pertamanya Ujian Nasional dan aku bukan tipe kakak yang manis yang bisa bilang, “Capek ya belajarnya?” atau jenis kalimat-kalimat lemah lembut yang menunjukkan kepedulian lainnya. Alih-alih mengatakan hal begitu, waktu aku melihatnya keluar kamar dengan muka suntuk untuk rehat sebentar dari belajar, aku hanya bilang, “Hai dek. Masih waras?” Yeah, tapi ITU. Itulah salah satu caraku menunjukkan kepedulianku padanya.

Atau tadi pagi, saat dia mau pergi ke sekolah jam 6 untuk UN. Aku bangun sejam lebih awal untuk melihatnya pergi ke sekolah, karena biasanya dia sudah pergi sekolah saat aku bangun. Tidak mengatakan hal-hal manis apa pun. Tapi itu caraku memberinya semangat untuk menghadapi ujiannya di sekolah.

Atau beberapa hari sebelumnya, saat aku meng-upload video kamar tidurnya yang penuh dengan rumus-rumus kimia dan fisika. Aku hanya mau bilang pada para followers Instagram-ku betapa rajinnya adikku.


Ah, tapi sebenarnya aku tidak separah itu kok. Kadang aku juga menanyakan apakah ujiannya susah, soalnya apa saja, dan sebagainya. Hehehe. Hingga detik ini aku masih berusaha mencari-cari cara lain untuk menunjukkan perasaanku, tapi aku juga belajar mengutarakan perasaan dan pikiranku lewat ucapan. Jadi yah, kalau kamu punya teman, saudara, atau malah pacar, semacam ini, cobalah memahaminya dan lebih peka akan cara-cara alternatif yang diusahakannya untuk mengutarakan perasaannya. 

Comments

Popular Posts