[Cerita Pendek] Kerlip Bintang Jatuh


Hamasaki Ryota kini sedang duduk termenung di sebuah kereta menuju Tokyo. Tempat yang ingin dikunjunginya memang agak jauh dari pusat kota. Ini membuatnya harus naik kereta terlebih dahulu untuk sampai di sana.

Ia akan selalu merindukan Jepang. Suasananya. Keramaiannya. Meski sudah empat tahun tinggal di Amerika, ia tetap merasa Jepang adalah rumahnya. Tentu saja, karena di tempat ini jugalah ia menciptakan berbagai kenangan. Manis maupun pahit. Kenangan yang selalu mengisi otaknya selama empat tahun terakhir.


Bagaimana perasaannya saat ini? Baik-baik sajakah? Ia tidak tahu. Empat tahun di Amerika sepertinya sudah cukup untuk melumpuhkan perasaannya, sehingga rasa sakit itu tidak terasa lagi. Sepertinya. Tapi seiring dengan perjalanannya ke tempat kenangan itu, seolah luka yang telah dibebat dengan erat sehingga membuatnya mati rasa itu kini dibuka kembali. Perih dan menyakitkan.

Shitsureishimasu[1],” Lamunannya disela oleh seorang penumpang lainnya. Penumpang yang ternyata satu bilik dengannya. Seorang wanita paruh baya rupanya. Wanita itu tersenyum sambil meminta izin. Setelah Ryota mengangguk, ia menempati kursi di depan Ryota.

Tak lama setelah wanita itu duduk, Ryota melanjutkan lamunannya. Namun, baru sekitar 10 menit ia kembali tenggelam dalam pikirannya, wanita itu mengusik lamunannya yang damai. 

”Pemandangan yang indah ya.”

Melihat respon Ryota yang hanya tersenyum samar, ia melanjutkan perkataannya. “Oh, maaf  kalau aku lancang. Namaku Fujiwara Sanae. Kau terlihat seusia dengan putraku. Kalau boleh tahu, berapa usiamu?”

Ryota tersenyum sopan dan membungkukkan badannya sedikit. “Namaku Hamasaki Ryota. Senang berkenalan denganmu. Usiaku 22 tahun.”

“Oh, ya benar. Kau dan anakku memang seusia. Senang sekali mendapat teman gerbong seusia Hajime. Kalau aku boleh tahu, kau sedang dalam perjalanan ke mana?” Wanita itu bertanya lagi.

Tidak butuh waktu lama bagi Ryota dan Sanae untuk menjadi teman mengobrol yang akrab. “Anakku juga tinggal di Tokyo. Bersama istrinya.” Sanae menjawab pertanyaan Ryota mengenai anaknya. Lalu ia menambahkan, “Kau sudah punya pacar, Ryota?” Sebagai jawaban, Ryota menggeleng sambil tersenyum.

“Benarkah? Pemuda tampan sepertimu? Ku rasa gadis-gadis itu yang buta atau kau yang terlalu dingin, Nak,” ucap Sanae sambil terkekeh. “Kau tidak punya gadis yang disukai? Temanmu?”

Satu pertanyaan saja dan hatinya mendadak terasa ngilu. Ryota tidak mengerti dorongan apa yang muncul dalam dirinya hingga ia berkata,”Yah, memang ada seorang gadis, yang dulu ku tinggalkan di kota ini.” Ia tersenyum pahit.

***

“Hei, Ryota! Hamasaki Ryota! Apa yang sedang kau lakukan?” Koizumi Karin mengempas pintu kelas 3B dengan sekali sentakan ketika jam istirahat tiba. Ia terengah-engah dengan cucuran keringat di kening. Rambut kepang duanya agak berantakan. Demikian juga dengan seifuku[2] yang dikenakannya. Tanpa peduli tatapan mata semua warga kelas 3B, ia segera berlari ke arah meja pemuda bernama Hamasaki Ryota tadi. Ryota sedang melamun. Akhir-akhir ini ia sering sekali melamun. Terlalu sering.

Gadis itu membalikkan kursi yang ada di depan kursi Ryota sehingga ia dapat menduduki kursi tersebut sambil menatap Ryota. “Hah! Kau melamun lagi?” Karin memiringkan kepalanya. Tanpa peduli pertanyaannya tidak ditanggapi, Karin dengan semangat berapi-api menarik secarik kertas dari saku baju seragamnya dan membentangkannya di atas meja Ryota. “Lihat? Ujian matematikaku mendapat nilai 100 lagi! Ini yang ketiga kalinya secara berturut-turut. Sesuai janji, kau harus temani aku ke Tokyo Disneyland!”

Ryota melihat kertas itu. Perlahan tatapannya menatap mata gadis manis di hadapannya. Gadis yang mengisi pikirannya beberapa tahun terakhir di SMA Akita. Ditatap seperti itu, Karin bisa merasakan panas menjalar di wajahnya. Tidak usah ditanya, pasti wajahnya merah sekali. Dan ketika Ryota mengangkat tangan menepuk kepalanya dua kali, ia merasakan debaran jantungnya berdetak tidak karuan dengan frekuensi yang tidak wajar jumlahnya. Ryota lalu tersenyum dan berkata, ”Oke. Aku kalah. Sabtu ini ya? Akan kutemani.”

Ryota dan Karin saling mengenal sejak kelas satu. Mereka siswa kebanggaan sekolah itu. Setiap tahun, Karin selalu meraih juara satu. Ryota nomor dua. Ryota dulu kesal sekali dengan gadis ini, karena ia tidak pernah bisa merebut juara satu dari gadis itu, seberapa kerasnya pun ia belajar. Karin sendiri tidak kalah benci dengan laki-laki itu. Sikapnya sangat bermusuhan. Memang salahnya kalau ia yang meraih peringkat satu? Itu buah kerja keras! Padahal Ryota sudah menyabet jabatan ketua OSIS di sekolah. Karin sendiri menolak untuk ikut dalam berbagai kegiatan organisasi. Kenapa ia mau merebut segala sesuatu yang berbau peringkat pertama?

Mereka baru saling mengenal setelah lomba fotografi antar sekolah di Tokyo yang mereka ikuti saat kelas dua. Para guru sangat setuju untuk mengirimkan dua orang perwakilan siswa terbaik untuk mengikuti perlombaan tersebut. Tentu saja, siswa terbaik mereka adalah Karin dan Ryota. Selain urusan pelajaran, kedua anak itu sangat ahli di bidang fotografi, seni, dan olahraga. Perlombaan itu membuat keduanya semakin giat bersaing untuk mewakili SMA Akita menjadi juara se-Tokyo. Tema yang diangkat adalah Beauty of the Galaxy. Sudah tentu mereka akan diminta memotret pemandangan langit. Minamoto-sensei[3] yang ditunjuk untuk mendampingi mereka dalam perlombaan menyarankan mereka untuk mengambil gambar yang cukup sulit, misalnya rasi bintang atau komet. Oleh karena itu, setiap malam sepulang sekolah, Karin dan Ryota bersama-sama menjadi penunggu bukit di belakang sekolah karena tempat itu sangat strategis untuk melihat keindahan langit malam. Dari sanalah mereka berdua saling mengenal.

Ryota berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan. Ayahnya adalah profesor di Universitas Harvard, Amerika. Ayah Ryota selalu menasehati Ryota untuk menjadi nomor satu dalam bidang apa pun, sehingga Ryota tumbuh menjadi siswa ambisius. Itulah sebabnya Ryota kesal ketika dirinya tidak bisa mengungguli Karin. Sementara itu, Karin menolak untuk aktif di OSIS atau kegiatan apa pun karena ia bekerja mengajar les sepulang sekolah. Karin yatim piatu. Ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat Karin masih 2 tahun dan membuat Karin diadopsi. Meski orangtua angkatnya sangat baik, Karin tidak mau membebani mereka yang pada dasarnya bukan orang mampu.

Semenjak itu, mereka menjadi teman baik. Ketika mereka berhasil memotret ekor komet Haley yang melintas malam itu, mereka berdua bersorak kegirangan. “Rin, cepat ucapkan permohonan!”

“Apa? Kenapa?” Karin harus menunggu jawaban dari pertanyaannya sebentar karena saat itu ia melihat Ryota sudah memejamkan matanya dan berdiam diri. Mulutnya bergerak-gerak mengatakan sesuatu tanpa suara. Ia kemudian membuka mata. 

“Tidakkah kau tahu? Bintang jatuh. Asal kau berhasil melihat indah kerlipnya bintang jatuh, ucapkan permohonan, maka itu akan terkabul.”

Karin mengangguk-angguk karena baru saja mendapat informasi baru. “Apa yang kau minta?”

Ryota menatap Karin sambil tersenyum. “Supaya kau dan aku bisa bersama selamanya.”

“Hah? Kenapa?” Jantungnya kembali berdegup dengan irama yang berantakan saat itu juga.

Ryota tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Sebagai gantinya, ia malah bertanya, “Rin, bagaimana kalau kita tidak usah bersaing lagi?”

“Tidak usah?” Karin mengerjap sekali, lalu memiringkan kepalanya.

Ryota mengangguk. “Aku tidak peduli mau peringkat satu atau dua. Juga tidak peduli siapa memenangkan lomba apa. Kita tidak usah bersaing lagi. Kita pacaran saja.”

***

“Rin, ada yang harus ku katakan,” Ryota menghentikan langkah kakinya ketika mereka sedang berjalan di Tokyo Disneyland. Ryota menepati janjinya untuk menemani gadis itu. Setelah mereka menikmati permainan seharian dan membeli es krim, Ryota mengatakan hal itu. Ia mengatakannya dengan ekspresi wajah yang sangat serius.

Karin juga menghentikan langkahnya dan berbalik. “Ya? Katakan saja.”

Ryota menatap mata gadis di hadapannya. Ia teringat jawaban gadis itu ketika ia memintanya menjadi kekasihnya setahun yang lalu. Karin menolak. Ya, dia saat itu mengatakan,”Ku pikir, akan lebih menyenangkan jika kita bisa terus bersaing, Ryota.”

Ia mendesah pelan lalu berkata,”Setelah lulus aku akan pindah ke Amerika. Ayah memintaku, ah, mungkin lebih tepatnya menyuruh, atau memaksa? Yang jelas, aku harus pindah ke Amerika lebih awal untuk persiapan ujian masuk Harvard.” Hal sepenting ini baru bisa ia ucapkan sekarang. Ia sudah siap jika gadis itu akan marah, memakinya, atau membunuhnya sekali pun. Ia sendiri ragu dengan keputusannya. Ia memang dulu bermimpi untuk bisa kuliah dan sukses di Harvard, mengikuti jejak ayah dan ibunya. Namun, setelah bertemu dengan Karin, apakah mimpinya masih sekuat dulu?

Tanpa diduga, gadis itu malah berkata, “Harvard? Wah, Ryota kau beruntung sekali. Aku tidak akan sanggup untuk kuliah di sana. Kau seharusnya senang.” Ryota mengangkat sebelah alisnya. Ia menangkap seberkas nada kesedihan pada kalimat terakhir gadis itu. Apakah ia sedih karena akan ditinggalkan? Atau karena ia tidak bisa kuliah di sana? Ah, ia harus memastikannya.

“Rin,” Ryota berdeham. “Masalahnya adalah aku tidak berniat meninggalkan Jepang.” Atau lebih tepatnya meninggalkanmu, batin pria itu. “Aku tahu kau akan merindukan aku kan?” Satu perintah saja, batin Ryota. Satu perintah saja untuk aku tidak pergi, maka aku akan tetap di sini.

“Kau ini bicara apa? Dengar ya, Hamasaki Ryota, ini kesempatan yang tidak semua orang bisa nikmati, termasuk aku. Pokoknya aku tidak mau mengenalmu lagi kalau kau menolak untuk pergi ke Amerika. Kau dengar aku?” balas Karin menggurui.

Ryota mengepalkan tangannya. “Kalau aku pergi, setidaknya 4 tahun lagi aku akan kembali. Kau mencoba mengusirku dari negara ini ya?”

“Mengusirmu? Aku mencoba menyadarkanmu dari pikiranmu yang bodoh itu, Bodoh.” Suara Karin tidak kalah tingginya.

Ryota menghela nafas dengan berat. Ia menjejalkan kedua tangannya ke saku celana. Pandangan matanya menatap mata hitam Karin lekat-lekat. “Perasaanku padamu belum berubah, kau tahu.”

Mata Karin melebar. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu. Tentu ia tahu. Apa yang harus ia katakan sekarang? Karin menunduk berharap semut-semut yang lewat bisa memberikan jawabannya. Tapi ia tetap tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

***

“Bagaimana gadis itu sekarang?” tanya Sanae pada Ryota yang tiba-tiba melamun sendiri ketika bercerita tentang Koizumi Karin. Ryota sudah akan membuka mulut untuk menjawab ketika ia sadar ia sudah akan tiba di stasiun tujuannya. “Ah, maaf, Fujiwara-san[4]. Aku sudah akan tiba. Senang sekali bisa mengobrol dengan Anda.” Ryota membungkuk sopan sebelum pergi, lalu menyandang tasnya.

“Yah, ku harap kau bisa bertemu lagi dengannya, Nak,” ucapnya sambil tersenyum.

Ryota memaksakan seulas senyum. “Ku harap ada mujizat yang dapat membuat ucapan Anda menjadi kenyataan, Fujiwara-san.” Lalu ia melangkah pergi.

***


Taman Pemakaman Tama merupakan salah satu taman hijau terbuka di Jepang. Rumput hijau dan pepohonan di tempat ini membuatnya sangat menyejukkan mata. Namun tentu saja taman ini tidak akan mampu menyejukkan hati pemuda yang sedang masuk ke sana dan mencari batu nisan milik Koizumi Karin. Ketika menemukannya, Ryota kembali merasa sesak. Hatinya terasa ditusuk-tusuk. Air matanya sudah ingin melesak keluar dari pelupuk mata. Ternyata Ryota belum bisa melepasnya.

Ketika Ryota pergi ke Amerika, Karin tetap bungkam. Waktu di Disneyland Karin langsung meminta pulang saat itu juga. Dua tahun di Amerika masih membuat Ryota belum bisa melupakan gadis itu. Belakangan baru ia ketahui bahwa Karin tidak menjawab saat itu karena ia akan dinikahkan di kampung halamannya, Hokkaido. Namun ketika dalam perjalanan ke Hokkaido, ia mengalami kecelakaan lalu lintas, membuatnya tak pernah sadarkan diri lagi sejak hari itu.

Ryota menarik nafas dalam-dalam dan susah payah menelan ludahnya untuk bisa berkata,”Kurasa,” suranya terdengar parau di telinganya sendiri “Meski meminta pada bintang jatuh sekalipun, kau tetap takkan hidup. Aku tahu karena aku sudah mencobanya.”

“Permintaanku yang dulu untuk bisa selalu bersamamu juga tidak dikabulkan. Mungkin memang tidak ada keajaiban semacam itu.” Ia menghela nafasnya sekali lagi sebelum terdiam sejenak dan berkata,”Tapi aku sudah meminta hal lain, karena aku merasa harus meminta hal ini. Ku harap kau selalu bahagia, Rin. Aku tahu kali ini bintang jatuh mengabulkan permohonanku, karena kini kau sudah bahagia di sana tanpa adanya beban.”

Ia kemudian meletakkan buket bunga yang sempat dibelinya dalam perjalanan ke pemakaman itu. “Aku hanya ingin bilang, perasaanku padamu belum berubah, kau tahu.”

Laki-laki itu tersenyum muram.




[1] Permisi
[2] Seragam sekolah khas Jepang untuk anak perempuan
[3] Panggilan untuk guru
[4] Panggilan untuk orang yang lebih tua atau yang dihormati


_______________________________________________________

Oke, pertama-tama, ini cerpen percobaan. Jadi mohon ampunilah segala kegagalan yang terjadi di dalamnya. Ini hanyalah sebagian kecil cara yang saya gunakan untuk berlatih. Saya akan senang jika pembaca berkenan memberikan kritik dan saran. 

Oh ya, saat saya menulis ini, saya memang membayangkan tokoh Koizumi Karin dengan penampilan seperti Mei Rin dari anime dr. Rin, dengan rambut coklat berkepang dua yang imut. Juga karena karakternya yang ceria. Cewek generasi 90'an tentu tahu anime ini. Nostalgia kembali? Tentunya! Gambar di atas saya comot dari sini.

Jadi demikianlah. Jya, hontou ni arigatou!! :D

Comments

  1. Keep writing!! Jangan menyerah hanya karena kamu gagal.. *komen gak bermutu* haha

    ReplyDelete
  2. makasiihhh, wkwkwk.. bermutu kookk. memotivasii.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts