[Cerita Pendek #HariCinta #ILoveMom] Trauma dan Kenangan dari Masa Lalu

Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah sejak dua jam yang lalu Lidia duduk termenung di kursi belajarnya. Buku mata pelajaran Biologi terbuka di atas meja di hadapannya. Keningnya berkerut. Namun, bukan buku Biologi penyebab kerut di dahi gadis 17 tahun itu, karena sejak tadi tidak satu halaman pun dari buku itu dibalik olehnya. Jelas gadis itu tengah memikirkan sesuatu yang lain.

Lampu belajarnya dibiarkan menyala untuk memberikan penerangan, karena lampu kamar tersebut sudah dimatikan. Terdengar bunyi napas teratur dari dua gadis kecil lainnya di kamar tersebut, menandakan lelapnya tidur mereka malam itu. Mendadak Lidia tersentak. Ia mendengar bunyi pintu dibuka perlahan.

“Belum tidur?” Bu Riska berdiri di ambang pintu, memberikan seulas senyum yang selalu bisa menentramkan hati Lidia yang tertekan. Seperti saat ini.

Lidia menggeleng sambil tersenyum lemah. Ia menutup buku Biologinya dan menghadapkan posisi tubuhnya kepada wanita paruh baya itu. “Bu Riska juga belum tidur?”

Bu Riska menghela napas. Masih dengan senyumnya ia melangkah mendekati Lidia. “Aku memang selalu memeriksa anak-anakku terlebih dahulu sebelum tidur. Dan aku tahu raut wajah itu. Kau pasti memikirkan hal itu lagi, bukan?”

Lidia menunduk, lalu mengangguk lemah. “Apakah menurut Ibu  aku harus mencarinya? Aku tahu aku memang sangat membenci dia, tapi...”

“Sst,” potong Bu Riska lembut. “Kau tidak boleh mengatakan benci kepada ibu kandungmu sendiri. Bagaimana pun, ia yang melahirkanmu ke dunia ini. Lagipula kau masih mengatakan ingin menemuinya. Aku yakin kau tidak betul-betul membencinya, bukan?”

“Tapi dia tidak menginginkan aku.” Lidah gadis itu terasa pahit ketika mengatakannya. Kini hatinya ikut terasa pahit setelah menyadari kenyataan itu benar adanya.

“Kau tidak akan pernah tahu kalau kau tidak bicara dengannya, Nak. Kau tahu, tidak ada salahnya menemuinya lagi. Daripada rasa penasaran itu menghantuimu setiap malam.” Lidia hanya diam mendengar kalimat itu. Kepalanya selalu dihantam rasa sakit setiap kali ia mengenang wanita itu. Wanita yang membangkitkan kenangan sekaligus trauma pada dirinya. Ibunya.

“Kalau pun ia menolakmu ketika kau menemuinya, kau tahu kami akan selalu menjadi keluargamu.” Wanita paruh baya itu meremas tangan Lidia pelan. “Nah, sekarang sebaiknya kau pergi tidur. Besok pagi kau harus sekolah.”

Sepeninggal Bu Riska, Lidia tetap belum bisa memejamkan matanya. Ia masih memikirkan wanita yang dulu sekali dipanggilnya Mama itu. Sudah hampir enam tahun, pikirnya.

Sungguh aneh menyebut wanita yang selalu menyiksanya ketika ia kecil sebagai ibu. Dulu waktu SD, gurunya mengatakan bahwa kasih ibu itu sepanjang masa. Anehnya, ia tidak pernah merasakan yang disebut dengan kasih itu. Yang ada hanyalah Mama yang selalu memakinya anak brengsek setiap kali ia bertanya ke mana Mamanya pergi. Yang tersisa dari ingatan masa lalunya cuma Mama yang memukulinya habis-habisan kalau ia berani mengusik tas atau handphone milik Mamanya. Atau Mama yang menampar kedua pipinya dan mengatainya anak tidak tahu diuntung ketika ia menolak disuruh pergi sebentar dari rumah saat teman Mama sedang datang berkunjung.

Ia merasakan matanya berair mengingat semua itu.

‘Demi Tuhan. Tidak adakah kenangan yang sedikit lebih menyenangkan?’ pikir Lidia kesal. Ia pun menolak mengingat lagi dan mulai memejamkan matanya. Mungkin karena lelah. Atau mungkin karena memang sudah larut, Lidia tertidur dan memimpikan Mama malam itu.

***

Lidia membuka matanya ketika mendengar deru pelan sebuah mobil di depan rumah kontrakannya yang kecil dan kumuh itu. Ia menatap jam di dinding. Pukul 2 pagi. Apakah Mama sudah pulang? Ia menggosok-gosok matanya, lalu mengulat malas. Setelah menguap dua kali, ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya keluar.

Tepat ketika matanya menangkap bayangan Mamanya yang baru masuk ke rumah, Lidia tersentak. Mama bersama laki-laki yang sedang dipapahnya menuju sofa tua nan lapuk di sudut ruang tamu. Wajah laki-laki itu merah dan ia berbicara melantur dan tidak jelas. Mata hitam Lidia melebar menyaksikan pemandangan itu.

Begitu Mamanya melihat Lidia menyaksikan apa yang ia lakukan. Ia membanting pelan laki-laki itu ke sofa, lalu menarik tangan Lidia untuk keluar dari rumah.

“Pergi dulu saja ke rumah Ibu Marni malam ini. Teman Mama mau menginap.”

“Tapi, tapi ini jam 2 pagi, Ma. Bu Marni belum bangun.”

Mamanya mencubit lengannya keras-keras hingga Lidia merasakan panas di lengannya. Ia harus menutup mata dan menggigit bibirnya sekuat tenaga untuk tidak berteriak tengah malam itu. “Pergi saja, Anak Sial! Ke mana saja! Heran kenapa aku masih mau merawatmu. Kau cuma bisa menyusahkan.”

Butir air mata Lidia terjatuh melihat Mama menutup pintu rumah dan menguncinya. Sepanjang malam ia duduk di depan pintu rumahnya. Menunggu pintunya dibukakan. Sesekali ia terlelap, tetapi terbangun kembali karena hawa dingin membuatnya menggigil atau karena gigitan nyamuk membuatnya harus menepuk-nepuk nyamuk di udara.

Tepat ketika Lidia sudah tidak tahan lagi menunggu di luar, pintu rumahnya terempas membuka. Laki-laki itu keluar dengan hanya mengenakan celana jeans-nya. Mamanya mengantarnya keluar. Setelah laki-laki itu masuk ke mobil dan pergi, Lidia masuk ke rumah dan dengan agak takut ingin bertanya kepada Mamanya.

“Mama,” katanya pelan. Nyaris seperti berbisik.

“Diam, Brengsek! Kenapa kau tidak pergi saja dari sini sih? Aduh, duh. Kepalaku sakit sekali. Aku mau tidur.”

Lidia terpaku mendengar kalimat Mamanya. Sudah cukup. Malam ini Mamanya betul-betul kelewatan. Ia sudah terbiasa dipanggil Sial atau Brengsek. Tapi Mama tidak seharusnya bilang tidak menginginkannya. Lidia menggenggam tangannya. Mama tidak menginginkannya.

“Lidia, ambilkan obat sakit kepala.” Mamanya berteriak dari dalam kamar. Lidia tersentak. Ia berlari ke dapur dan membuka kotak obat. Ia tertegun. Ia ingat Mama pernah bilang obatnya sudah kadaluarsa dan menyuruhnya membelikan yang baru. Ia menatap obat itu lekat-lekat. ‘Aku benci Mama,’ rutuknya dalam hati.

Lidia menyobek kemasan pil itu. Ia membawa dua butir obat serta segelas air ke kamar Mama. Namun ketika ia sampai ke kamar Mamanya, wanita itu sudah tertidur. Ia memperhatikan kening Mama yang berkerut ketika tidur. Ia lalu meletakkan obat dan gelasnya di atas meja.

Saat ia menatap Mamanya yang tertidur, seketika niat untuk menghabisi nyawa Mamanya hilang. Mata Lidia berkaca-kaca. Ia merenggut obat-obatan yang tadi ia letakkan di atas meja dan membuangnya. Lidia berlari keluar. Ia pergi. Pergi ke mana saja. Seperti kata Mama. Seperti apa yang Mama perintahkan.

***

“Lidia akan menemui Mama, Bu,” ucapnya kepada Bu Riska pagi itu. Ia sudah memutuskan untuk menghadapi masa lalunya. Bu Riska mengangguk. Ia tersenyum mendengar ucapan gadis di hadapannya.

“Akan ibu temani,” kata Bu Riska.

“Lho. Lalu siapa yang menjaga panti ini, Bu? Bagaimana dengan adik-adik?”

“Tidak apa-apa. Ibu bisa menitipkan mereka ke Bi Inah. Ayo kita pergi.”

Lidia dan Bu Riska berdiri di depan gerbang kontrakan kumuh yang pernah ditinggalinya dulu. Lidia menelan ludahnya dengan susah payah dan dengan berat ia mengangkat tangan untuk mengetuk pintu. Betapa terkejutnya Lidia begitu melihat orang yang membuka pintu adalah seorang laki-laki paruh baya berbadan besar. Raut wajahnya terlihat tidak senang dengan tamu tak diundang ini. Siapa orang ini? Apa Mama sudah pindah rumah?

“Saya mencari Ibu Kartika.” Lidia sendiri dapat merasakan kegugupan yang entah dari mana datangnya ketika ia menyebutkan nama Mamanya.

“Kartika? Maksudmu pelacur itu?”

Hati Lidia mencelus seketika. Kakinya langsung terasa lemas. Secara otomatis ia mencengkeram lengan Bu Riska. Sebelah tangannya yang lain menekan-nekan pelipisnya.

“Apa?” tanyanya lemah. Otaknya dipaksa berpikir keras saat itu juga. Mamanya? Pelacur? Yang benar saja!

“Apa Anda tidak salah, Pak?” Bu Riska mengambil alih pembicaraan karena ia melihat anak asuhnya nyaris jatuh pingsan karena ibunya disebut pelacur. “Kami mencari Ibu Kartika Harini. Dulu dia tinggal di sini bersama anak perempuannya, Pak. Apa Bapak tahu di mana Ibu Kartika sekarang?”

Pria itu menjelaskan secara ogah-ogahan. “Ya, saya pernah dengar tentang Kartika,” ucapnya tak sabar. “Pemilik kontrakan ini bercerita sedikit pada saya. Wanita itu pelacur yang tinggal di sini dengan anaknya. Tapi katanya suatu hari anaknya menghilang dari rumah. Bertahun-tahun wanita itu depresi.” Penjelasan pria itu membuat Lidia semakin pusing. Denyut di kepalanya semakin tidak tertahankan.

“Tapi tidak lama setelah itu ia ditemukan tewas. Ia meminum obat sakit kepala dalam dosis besar.”

Pandangan Lidia menggelap seketika.

***

Lidia berdiri di depan tanah kecoklatan dengan batu nisan bertuliskan nama Kartika Harini dan hatinya terasa nyeri. Hanya ia yang mengunjungi Mamanya hari itu. Ia ingat. Hari itu adalah ulang tahun Mama. Ketika ia mengetahui Mamanya meninggal, rupanya Mama telah dimakamkan dua tahun sebelumnya. Ia terlalu terlambat menyelamatkan Mamanya.

Ia hanya menangis sesenggukan tatkala Bu Marni, tetangga lamanya bercerita mengenai Mamanya. Andai ia tahu lebih dulu. Andai ia tahu Mamanya terpaksa melacur demi menyekolahkannya. Andai ia tahu Mama berusaha mencarikan tempat tinggal lain untuk Lidia ketika itu agar putrinya tidak harus melihatnya dengan profesi itu. Andai ia tahu Mama setengah mati mencarinya saat ia menghilang. Andai ia tahu bahwa Mama sebetulnya sangat menyayanginya.


Lidia mengusap lembut pipinya yang basah. “Selamat ulang tahun, Ma,” bisiknya pelan. “Lidia sayang Mama.”


Comments

  1. Nice short story :D
    I realize there are things that we can not know spontaneously from the closest people. But one thing is for sure I believe that a mother's love of all time.
    That is an inspirational story to love our mom deeply :)

    ReplyDelete
  2. I still need to work hard to produce a good writing. But thanks so much. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts