[Cerita Pendek] The Coffee Shop
Gambar diambil di sini.
Celine sudah duduk gelisah di meja kerjanya sejak beberapa jam yang lalu. Meski tahu akhir pekan hanya tinggal dua jam lagi, ia tetap tak bisa menghentikan dirinya melirik jam dinding di tembok depannya setiap lima menit. Ketika jarum jam dinding sudah menunjuk ke angka lima Celine tersentak, termenung selama beberapa detik sebelum akhirnya dengan terburu-buru membereskan berkas-berkasnya di meja. Ini akhir pekan yang sudah ditunggu-tunggu.
Setelah
memutuskan bahwa penampilannya sudah terlihat cukup baik, ia berjalan keluar.
Langkah kaki yang dibalut stiletto
hitam setinggi lima senti itu menuju ke stasiun kereta api terdekat. Selama
menunggu kereta datang pikirannya mengembara, berimajinasi ke sana kemari.
Sesekali ia terlihat menyunggingkan senyum sambil menatap lantai stasiun.
Celine mendesah. Wajarkah merindukan seorang teman hingga sedalam dan sesering
ini?
Kedai
kopi itulah awal dari semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Celine masih
mengingat gurat senyum itu dengan jelas. Celine bahkan dapat menyebutkan warna
matanya yang berbinar meski suasana di sana cukup temaram. Dua cangkir kopi
diletakkan di depan dua orang yang sedang duduk berhadapan. Mereka tahu hangat
yang mereka rasakan bukan hanya berasal dari kepulan uap kopi di hadapan
masing-masing, tetapi juga bersumber dari dua hati yang mendadak menjadi hangat
karena kehadiran satu sama lain.
Bunyi
kereta yang datang membuatnya mendongak. Gerbong kereta sudah terhenti di depan
matanya. Ia melangkah ke dalamnya, berdesakkan dengan penumpang kereta lain
yang mayoritas merupakan karyawan perusahaan yang baru pulang kantor. Salah
seorang penumpang yang berdiri di dekat sambungan gerbong menarik perhatiannya.
Sebetulnya bukan orangnya, melainkan kaus yang dikenakan penumpang itu yang
membuatnya mengingat seseorang. Kaus hitam yang sama persis yang juga sering
dikenakan orang itu. Celine menghela napas sekali. Kenapa segala hal seperti
terkoneksi dengannya?
Sekali
waktu Celine pernah menanyakan alasan kaus hitam yang terlampau sering dipakai
hingga terlihat kumal itu. “Nyaman aja,” sahut lawan bicaranya singkat, disusul
cengiran khas yang membuat Celine ingin mencubit pipinya gemas.
Itu
kali kesekian mereka bertemu di kedai kopi yang sama. Satu kali pertemuan
merambat ke pertemuan selanjutnya. Dan selanjutnya. Dan selanjutnya. Obrolan
basa-basi, isu-isu global, hingga masalah personal telah mereka bicarakan. Juga
rahasia masing-masing. Hanya dengan duduk berhadapan dan berbincang di kedai
kopi ini Celine dapat melepas topeng dan menjadi dirinya sendiri tanpa ada
beban sedikit pun.
“Kenapa aku merasa cuma kamu yang bisa pahamin aku? Aneh, ya,” cetus Celine tiba-tiba.
“Mungkin
aku memang dihadirkan Tuhan untukmu?” Tawa Celine tercetus begitu saja. Meski
ia menanggapinya seperti sebuah lelucon, diam-diam wajahnya ikut memanas tanpa
tahu penyebabnya. Hati Celine masih merasakan hal yang sama dari sejak
pertemuan awal mereka meski ia tidak dapat mendefinisikannya. Terlalu aneh.
Yang jelas, ini memang perasaan yang lebih daripada perasaan kepada seorang
teman.
Pintu
kereta terbuka. Beberapa orang mulai turun, tetapi penumpang yang baru naik pun
tidak kalah banyak, sehingga kondisi berdesak-desakkan di dalam masih terjadi.
Celine yang tadinya berdiri di dekat pintu masuk kini sudah tergeser hingga ke
tengah gerbong. Saking banyaknya manusia yang memadati gerbong kereta, ia
bahkan masih bisa berdiri tegak saat kereta berjalan tanpa berpegangan pada apa
pun.
Sesekali
ia kehilangan keseimbangan, tetapi tubuhnya bergerak sigap untuk menegakkan
diri kembali. Matanya terpejam. Dulu pernah ada tangan yang menyangga dirinya
saat ia hampir pingsan kelelahan begitu sampai di kedai kopi langganannya.
Sebuah suara terdengar begitu mencemaskannya, namun Celine terlalu lemah bahkan
untuk membuka mata. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang disodorkan ke bibirnya,
membuatnya meneguk minuman manis yang perlahan memulihkan kesadarannya.
Hanya
ada satu wajah yang dilihatnya saat pertama kali ia membuka mata. Ia tersenyum,
merasa lega dan senang, semata-mata karena mengetahui siapa yang telah
menolongnya. “Kalau memang capek kenapa tetap maksa diri untuk ketemu sih?”
Pemilik suara itu mengeluh.
Celine
yang sudah merasa baikan, menjawab perlahan. “Mau ketemu kamu.” Ia tidak
memikirkan apa pun saat menjawab pertanyaan itu. Jawaban spontan itu
cepat-cepat diralatnya. “Dan karena aku juga kangen minum kopi enak. Makanya
aku harus ke sini.”
Kecanggungan
di udara begitu terasa setelah pengakuan pertama Celine terlontar, membuat
Celine kembali membuka percakapan pengalih, “Kenapa kamu suka banget ke sini?”
“Kedai
kopi ini, maksudmu?”
Celine
mengangguk.
“Aku
suka suasananya. Ini kedai kopi yang sudah ada dari zaman dulu. Ayah dan ibuku
pun ketemu di sini. Jadi ada banyak kenangannya juga.”
“Oh.”
Celine mengangguk-angguk menanggapi. “Seberapa sering ke sini?”
“At least tiap Jumat malam. Karena itu
waktu terbaik, paling ramai. Meski cuma duduk sendiri, bisa lihat macam-macam
orang.” Kembali bibir tipis itu melengkungkan senyum.
Celine
memang sudah jatuh cinta kepada pribadi yang ada di hadapannya. Ia tahu ini
bukan lagi perasaan terhadap sahabat. Perasaan yang lebih telah menyusup masuk
sejak pertemuan pertama. Namun mengakuinya adalah hal yang sulit dilakukan
Celine hingga saat ini. Ia masih merasa ini semua tidaklah nyata. Tidaklah
benar. Tidaklah wajar.
Sekali
lagi pintu kereta terbuka. Celine masih belum turun di sini. Ia masih berdiri
di tempatnya semula ketika kereta dijalankan kembali. Ketika kereta mulai
menaikkan kecepatan, Celine sempat kehilangan keseimbangan. Secara refleks
tangan kanannya menggapai mencari pegangan. Dan pada saat itulah, matanya
menangkap cincin bersalut emas yang melingkar di jari manis kanannya. Cincin
yang sempat ditolaknya tanpa sengaja.
“Celine,
aku…. mau hidup sama kamu.” Celine melihat kotak kecil putih dengan pita biru
disodorkan di hadapannya. Kedua mata Celine melebar. “Aku tahu ini bukan
sesuatu yang biasa, atau pun mudah untuk kita jalani. Tapi apa kamu mau,
setidaknya, mengusahakannya bersama-sama dengan aku?” Ia tahu cepat atau lambat
ini akan terjadi. Ucapan ini adalah sesuatu yang sejak lama ingin didengarnya.
Hatinya berdebar mendengar pengakuan ini, namun ada sisi lain dalam dirinya
yang juga merasa takut.
Seandainya
kamu bukan wanita.
Rupanya
kata-kata itu tidak hanya dalam pikirannya saja, melainkan juga telah
diucapkannya,. Lawan bicaranya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, namun sorot
matanya sudah menjelaskan banyak hal; kecewa, malu, tertolak. Celine tersentak
begitu sadar situasi. Belum pernah Celine merasa sebersalah itu seumur
hidupnya.
“Laras,
maksudku…”
“Aku
tahu kok, ini memang terlalu konyol buatmu.” Wanita tomboi di hadapannya
memotong ucapan maaf yang hendak diucapkan Celine. Rambut pendeknya bergoyang
sedikit saat ia menggelengkan kepalanya, merasa bodoh menanggapi semua ini.
“Maaf,
ya.” Ada nada sinis yang terkandung dalam dua kata yang diucapkan Laras. Dan
dua kata itulah yang diucapkannya sebelum meninggalkan Celine bersama kotak
putihnya.
Pintu
kereta terbuka lagi. Celine melompat keluar dengan sigap. Kakinya melangkah
dengan cepat keluar dari stasiun, menuju kedai kopi tempat pertemuan rutinnya
dengan Laras.
Tiga
bulan tanpa kabar. Tiga bulan tanpa mendengar suaranya. Gadis itu hampir gila
dengan segala situasi dan pergolakan batin dalam dirinya. Ia pikir keputusannya
untuk tidak datang kembali ke kedai kopi adalah hal yang benar. Tapi sekarang
ia tahu dirinya, tahu apa yang diinginkannya. Ia juga menginginkan Laras.
Begitu
sampai di depan pintu Celine kembali ragu. Bagaimana kalau Laras tidak datang
hari ini? Bagaimana kalau Laras ada, tapi menolak menemuinya? Atau lebih buruk,
bagaimana kalau Laras ternyata sedang berkencan dengan orang lain juga di sini?
Bagaimana pun tiga bulan bukan waktu yang singkat, kan.
Ia
menghela napas berat.
Oh well. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Celine mengentakkan stiletto-nya sambil mendorong pintu, dan
berjalan masuk ke dalam. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Laras.
Menatapnya membangkitkan perasaan yang ia rasakan ketika pertama kali bertemu.
Ia kembali merasa hangat dari dada hingga ke seluruh tubuh.
Seolah
bisa merasakan sedang ditatap, wanita tomboi yang sedang duduk di pojok kedai
mendongak. Manik matanya langsung menatap Celine. Mereka tidak perlu bicara
banyak. Ungkapan dan penerimaan maaf sudah terlontar secara kasat mata di
antara mereka. Dan binar mata keduanya telah menyatakan dengan tegas apa yang
diinginkannya.
Sekali
ini ia takkan lagi melepas apa yang begitu berharga baginya. Celine mengambil
satu langkah pertama menuju Laras. Menuju orang yang begitu dirindukannya.
N.B. :
Well, cerpen ini tadinya diikutkan ke Event Menulis dengan tema "RINDU", tapi belum berkesempatan lolos. Mungkin memang kurang merepresentasikan tema, ya? Mungkin ada yang bisa kasih pencerahan kenapa saya gagal, hehe.
One fact about the story : Inspired by Fallin in Love in a Coffee Shop - Landon Pigg
Sebenarnya cerpen ini cukup keren..,mungkin, konsep cinta sejenis..belum begitu diterima di Indonesia..., aq pikir, awalnya Celine jatuh cinta ama sosok seperti Taylor Lautner..ato sosok cowok afro Amerika ,berkulit coklat eksotis ,atletis dan punya lesung pipi..,tapi nyatanya..itu Laras..so😅😅😅
ReplyDeleteHai, makasih udah mampir, ya. Maaf kalau baru kebalas komen-nya. Anyway, alasan yang kamu sebutkan juga sempat terpikir sama aku. Mungkin karena ada isu LGBT nya ya :)
Delete