[Cerita Pendek] Kisah Gadis Musim Hujan
Gambar diambil dari sini. |
Pernah aku mengenal seorang gadis. Gadis musim hujan, aku
menyebutnya. Kami dipertemukan oleh hujan. Dan aku selalu bisa menemuinya tiap kali rintik hujan turun.
Kami memiliki persamaan, sama-sama menyukai musim hujan. Ia
menyukai hujan karena membawa kenangan, yang katanya bersama rintiknya akan mengalir
turun membasuh pedih. Aku menyukai hujan karena aku menantikan sepucuk harapan,
yakni pelangi indah yang akan dijanjikan semesta bagi seluruh umat.
Gadis musim hujan selalu sendu, akibat terlalu sering menahan rindu. Aku bisa melihat sorot matanya yang memancarkan pilu, begitu menggambarkan semangat yang redup pada perasaannya yang rapuh. Aku mengenalnya dengan baik.
Gadis musim hujan dan aku adalah satu unit tak terpisahkan.
Kami adalah sahabat karib yang hubungannya lebih mirip seperti saudara, bahkan lebih. Setiap
kali hujan turun kami akan sengaja berjalan-jalan di bawah langit kelabu,
mengayunkan langkah beriringan, menciptakan percik air dari genangan jalan yang
basah. Aku dengan payung besar hitamku dan dia yang lebih suka membiarkan
dirinya kuyub oleh tetes air langit itu.
“Biar air mataku pun ikut dibasuh oleh hujan,” sahutnya
ketika aku menanyakan keengganannya mengenakan payung.
Sayang, hujan tak pernah menyembuhkan luka di hati. Air
matanya dibasuh oleh hujan, tetapi tidak sakit hatinya. Aku tahu betul karena
setiap kali kami menikmati hujan, ia tak pernah absen meracau tentang betapa
tak adil hidup pada dirinya.
“Kenapa Sam?” Gadis musim hujan memulai racauannya. Setengah
tertawa, setengah menangis, layaknya orang yang sedang mabuk di bawah hujan.
“Coba jawab aku. Apa salahku mencintai lelaki, teman sekerjamu itu? Kenapa aku
tidak boleh, hanya karena rupa fisikku?”
Gadis musim hujan tetap memakiku, meski tahu bukan aku pangkal
masalah yang menimpanya ini.
Atau, justru karena aku?
“Dengar.” Aku memulai petuahku dengan nada rendah. “Tidak
perlu memikirkan apa kata orang. Asal kau mencintainya, dan dia mencintaimu,
beres sudah. Orang lain berhak memiliki penilaian apa pun. Tapi kau yang berhak
atas kehidupan dan perasaanmu.”
“Samuel.” Ia menggelengkan kepala sambil mengangkat satu tangan,
sebagai isyarat untuk memintaku berhenti. Terlebih lagi ia sudah menyebutkan
nama lengkapku. Ini pertanda akan bahwa ia telah jemu dengan petuah kosong yang
terus kuulang setiap kali ia meracau. “Aku bukan kau yang bisa tak peduli akan
pikiran orang. Jadi berhentilah memintaku berpikir dengan cara yang sama
denganmu berpikir. Sekali lagi, aku bukan kau!”
Setelah itu gadis musim hujan akan tersedu-sedu dalam
pelukanku. Lalu ketika hujan reda, ia beranjak, meninggalkanku menyaksikan
busur indah berwarna-warni sendirian.
Meski terlihat rapuh, aku selalu percaya bahwa gadis musim
hujan adalah gadis yang kuat di dalam hati. Hujan akan menemaninya. Hujan akan
selalu menghiburnya. Dan mungkin, jika Tuhan mengizinkan, hujan juga yang dapat
menyembuhkannya.
Sampai suatu saat gadis musim hujan menarikku menemaninya di
atas jembatan beton tua yang sudah sedikit retak di dekat perempatan jalan, di
kala hujan. Hari itu hujan bukanlah teman yang menyenangkan untuk diajak
bermain bersama. Angin yang begitu kuat menerbangkan payung hitam milikku entah
ke mana. Dan sekarang aku di sini, duduk di atas jembatan bersama gadis musim hujan,
diterpa angin dan air dari segala sisi. Membuat kaus kuning terang yang kini kukenakan
menjadi basah dan membuatku makin menggigil hingga ujung jari.
“Sam, apa kau tahu bagaimana rasanya mati?” Gadis musim
hujan bertanya sambil melayangkan pandangannya pada aliran deras sungai di
bawah kakinya.
Aku membeku mendengar ucapannya. Pasalnya, ini kali pertama
aku mendengar jenis pertanyaan yang demikian terlontar dari bibirnya. Tatapanku
ikut menyusuri sungai besar dengan batu-batu besar di bawah kakiku.
Bayangan diriku yang berada di bawah sana, basah kuyub kedinginan, megap-megap merebut
oksigen dengan susah payah, sedikit membuatku bergidik ngeri.
“Aku tidak tahu,” jawabku setelah berpikir sesaat. “Kenapa
kau menanyakannya?”
“Aku ingin mati,” sambungnya cepat. Aku menekuri wajahnya untuk
mencari setitik kebohongan di sana, yang pada akhirnya tak kutemukan. “Mungkin
dengan begitu maka semua rasa sakit ini akan hilang.”
Selama beberapa detik aku tak tahu harus berkata apa.
“Ikutlah denganku, Sam.”
Aku menatapnya, tertegun. Kematian tak pernah menjadi bagian
dari pemikiranku sebelumnya. Sama sekali.
“Ikut denganku. Kita bisa bersama-sama lagi dalam kehidupan
selanjutnya, bermain di bawah hujan bersama-sama. Mungkin, aku akan bisa menemukan
diriku dalam wujud yang lain. Wujud yang bukan wujud dirimu.”
Antara terkejut atau takut, atau kombinasi keduanya, aku tak
mampu menggerakkan otot tubuhku sedikit pun. Ketika ia mulai mengulurkan
tangannya menggamit tanganku, aku tak dapat menolak. Tatapan matanya
memancarkan binar belas kasihan.
Detik selanjutnya aku merasakan diriku ditarik dan meluncur
dengan kecepatan tinggi, lalu melebur dengan air dingin yang terasa menusuk-nusuk
tubuhku sampai ke tulang. Aliran deras sungai tak dapat kulawan, aku
megap-megap merebut pasokan oksigen. Tapi semakin aku berusaha, energiku makin
terkuras, membuat gerakanku kian melambat.
Hal berikutnya yang kutahu adalah duniaku menjadi gelap
seketika.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang
jelas, saat aku membuka dua mataku, aku hanya melihat seonggok tubuh laki-laki
di pinggir sungai, mengenakan kaus kuning terang. Orang-orang mengerubungi
tubuh itu beramai-ramai dan melakukan berbagai tindakan pertolongan pertama untuk
menyelamatkan nyawa, yang tak kunjung berhasil.
Aku tahu benar, itu jasadku sendiri.
Aku mencari-cari sosok gadis musim hujan di tengah
keramaian, tetapi tak kutemukan. Aku mulai panik memikirkan apa yang mungkin
terjadi kepadanya.
Tapi mendengar ucapan salah seorang dari rombongan manusia
yang menyelamatkanku membuatku berhenti mencari sosok gadis musim hujan.
“Malang nasib anak ini. Aku melihatnya tadi, duduk di atas jembatan,
berbasah-basahan sendiri. Hanya memandang ke arah sungai, tanpa memedulikan
sekitarnya. Lalu mendadak lompat dari jembatan.”
Alis mataku terangkat mendengar ucapan warga ini. Kemudian
seorang dari mereka ikut menambahkan, “Aku tahu anak ini. Dia anak tetanggaku,
namanya Samuel. Kalian tahu, dia gay.”
Warga lain mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah
prihatin. “Aku pernah mendengar kabar bahwa ia punya pacar laki-laki, kolega di
perusahaan tempat ia bekerja.”
“Aku juga dengar kabar itu. Katanya ia terancam dipecat dari
perusahaannya juga.”
“Ya, ya! Mungkin karena depresi, makanya dia memutuskan
bunuh diri.”
“Kasihan sekali.”
“Iya. Kasihan sekali.”
Suara-suara rombongan manusia ini seperti berputar dalam
benakku. Secara otomatis aku mulai mengumpulkan ingatan yang tersisa dari
diriku. Semua ucapan mereka, semua ingatan yang berusaha kukumpulkan mengenai
kehidupanku sebelumnya, semua ucapan gadis musim hujan, semuanya mengarahkan
aku pada satu kesimpulan mutlak.
Gadis musim hujan memang tidak pernah ada. Ia adalah diriku
sendiri.
P.S. :
Penulis yang baik bisa melihat hal sesederhana apa pun sebagai inspirasi menulis. Saya tengah berjuang menuju tahapan itu. Dan kisah ini terinspirasi dari rintik hujan yang membasahi jendela kantor di samping saya duduk dan bekerja.
Ini mungkin bukan kisah terbaik yang pernah Anda baca, tetapi saya harap kisah gadis musim hujan cukup layak untuk menemani Anda di malam musim hujan yang dingin.
I fuckin' love it. Damn it, saya baru membaca dua cerpen yang anda posting di sini dan saya pikir saya sudah jatuh hati terhadap keduanya karena plot twist yang anda hadirkan di tiap cerpen. Great job. Really appreciate this.
ReplyDelete