[Cerita Pendek] Wildest Fantasy
Gambar diambil dari sini. |
Aku tengah mengamati seorang laki-laki dari seberang
ruangan. Tangannya yang memegang pensil terlihat terus menggoreskan kata di
atas lembaran putih itu dalam diam. Sesekali ia berhenti dan mengerutkan
keningnya, lalu memijat pelipisnya sejenak dan kembali menulis. Wajah tampan
itu terlihat frustrasi. Dan sedikit banyak pemandangan ini membuatku mengulum
senyum.
Lalu ia membalas tatapanku. Meski nampak tertegun, detik
selanjutnya ia sudah melemparkan senyum padaku. Tapi bukan jenis tatapan dan
senyum yang sopan. Tidak. Aku tahu benar gelagat anak laki-laki satu ini.
Matanya tengah melirik jahil ke bagian pahaku yang tak cukup tertutup kain.
Aku melirik jam di dinding. Lima menit adalah sisa waktu
yang dimiliki siswa kelas sepuluh Sequoia Academy di hadapanku untuk menyelesaikan soal ujian yang menjemukan itu. Ketika akhirnya bel berdering, terdengar lenguhan dari para siswa. Dan aku
tahu, meski mereka tidak mengatakannya, mereka tengah putus asa menyelesaikan
soal sejarah musik yang sengaja kubuat agak sulit itu.
“Yak, waktu telah habis. Silakan mengumpulkan lembar ujian
kalian ke depan,” ucapku lantang, dengan suara membahana ke seluruh isi
ruangan.
Bunyi frustrasi semakin terdengar di sana-sini. Tapi
beberapa siswa mulai maju ke depan dan mengumpulkan lembaran soal ujian di
tanganku. Meski terus menghela napas, para siswa yang mengeluh itu pun mau tak mau ikut
mengumpulkan.
Dan anak laki-laki itu datang sebagai orang terakhir yang
mengumpulkan lembaran berkasnya. Sebagian besar siswa sudah keluar ruangan
ketika ia mengangsurkan lembar ujiannya padaku.
“Soalnya susah,” protesnya. “Kenapa tidak mengadakan ujian
praktik saja?”
Aku kembali menyunggingkan senyum. Senyum yang telah banyak
menjadi bahan pembicaraan di antara siswa dan guru laki-laki di sekolah ini.
“Tapi selesai juga, kan?” sahutku seraya melirik sekilas
lembar ujiannya.
“Iya sih,” seringainya, membuatku berhenti bernapas selama
sesaat. “Omong-omong, jangan lupa datang ke rumah nanti sore.”
“Aku takkan lupa,” jawabku yang telah mendapatkan kestabilan
mentalku kembali. “Kalau tidak, kasihan sekali orangtuamu yang membayarku untuk
mengajar piano privat dengan harga mahal itu.”
Ia tertawa. “Baguslah,” angguknya. “Tapi aku mengingatkanmu bukan karena les piano."
Aku memandangnya bingung selama beberapa saat. Melihat ekspresiku yang minta dijelaskan, ia menyeringai saat menambahkan, "Orangtuaku sedang tidak di rumah nanti.” Ia mengakhiri kalimat itu dengan satu kedipan mata. Kemudian dengan satu gerakan santai ia mengenakan tas selempang hitam tipis yang sepertinya tidak pernah ada isinya itu, dan berjalan keluar.
Aku memandangnya bingung selama beberapa saat. Melihat ekspresiku yang minta dijelaskan, ia menyeringai saat menambahkan, "Orangtuaku sedang tidak di rumah nanti.” Ia mengakhiri kalimat itu dengan satu kedipan mata. Kemudian dengan satu gerakan santai ia mengenakan tas selempang hitam tipis yang sepertinya tidak pernah ada isinya itu, dan berjalan keluar.
Aku mendesah. Selalu seenaknya. Hal ini jugalah yang membuat
sebagian besar guru sebal dan sering melayangkan detensi untuknya. Karena Nate
adalah salah satu siswa yang tak pernah tunduk aturan. Demikian juga kepada
orangtuanya di rumah.
Dan dia bilang orangtuanya tidak ada di rumah nanti?
Tanpa sadar aku tertegun dan langsung membayangkan fantasi
terliarku saat sedang bersamanya. Fantasi yang selalu membayang tiap kali aku
sedang melihat atau berdekatan dengannya. Sedikit banyak hal ini memicu
memoriku untuk mengenang kembali kejadian ketika ia menciumku, ketika tangannya
menyentuh dan memelukku pertama kali, di rumahnya saat orangtuanya sedang dinas ke luar
kota.
Omong-omong, apa aku sudah bilang bahwa Nate itu pacarku?
Yah, pacar rahasia mungkin lebih tepat untuk digunakan di
sini. Usia kami yang terpaut 23 tahun tidak memungkinkan kami untuk
mempublikasikan hubungan kami kpada khalayak ramai. Tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan hal ini.
Demikian juga dengan Nate. Yang penting kami bisa saling memiliki. Dan kami saling
mengisi kebutuhan satu sama lain.
Aku langsung melajukan mobil ke arah rumah
Nate sepulang sekolah, untuk mengajar kursus piano yang telah berlangsung selama satu tahun
terakhir. Sebelum keluar, kupoles kembali lipstik berwarna pink keunguan perlahan di bibirku. Untuk alasan yang tidak
kuketahui dengan pasti, aku merasa warna ini seperti menggambarkan diriku dengan segala
fantasi liarku akan para remaja laki-laki, khususnya Nate. Itulah mengapa aku sangat menyukai warna lipstik yang satu ini. Setelah memastikan make up-ku baik-baik saja, aku menekan
bel pintu rumah Nate dan mempersiapkan diriku baik-baik untuk menghadapinya.
Pintu terbuka dan Nate berdiri di sana. Dengan seringai
khasnya yang membuatku kembali mengimajinasikan fantasi gila. Gila dan liar
dengan dia sebagai objeknya.
“Kau cantik, Sayang,” ucapnya, lalu menarik pinggangku
hingga merapat ke tubuhnya seraya menutup pintu di belakangku. Nate menciumku
dalam dan lama, dan aku terus mengikuti iramanya. Ketika kami melepaskan diri,
aku sudah tersengal-sengal dan fantasi liarku berjalan lagi. Aku menggeletakkan
tas begitu saja di dekat kaki piano dan mengambil tempat di samping Nate di
hadapan piano.
“Kita mulai saja?” tanyaku dengan kesepuluh jari yang sudah
siap sedia di atas tuts piano.
“Tentu,” sahutnya, lalu menghadiahiku tatapan jahilnya lagi.
“Tapi kita tak perlu terburu-buru, bukan?”
Tanpa sempat membantah, Nate langsung mencondongkan tubuh kembali
dan mengecup bibirku perlahan, kemudian ciumannya mulai melumat dalam. Ia
melingkarkan tangan di pinggangku, menarikku lebih dekat hingga tak ada celah
di antara tubuh kami. Kami terjatuh ke atas karpet sambil terus memeluk dan
mencium. Nate tidak melepaskanku barang sedetik pun. Ketika ia melakukannya,
tangannya mulai bergerak mencopot kancing blus yang kukenakan.
Fantasi liar dalam benakku semakin menggila dan terasa
semakin nyata. Tanganku menggapai ke dalam tas yang tergeletak di dekat piano, mengambil
sebuah benda tajam dari sana. Dan dengan satu gerakan aku menikam punggung
Nate. Ia melepaskan ciumannya seketika dan menatapku dengan raut wajah
terkejut. Aku membalasnya dengan senyum dan tatapan yang tak pernah
kuperlihatkan di hadapannya sebelumnya.
Nate berusaha berguling ke samping, tapi gerakanku lebih
cepat. Kini aku sudah berada di atasnya dan kembali melayangkan pisauku ke area
perut dan dada. Tangannya berusaha menghadang serangan, tapi sayang, ini bukanlah pengalaman pertamaku dengan anak laki-laki. Tangannya mengalami luka parah akibat mencoba menangkap pisau
yang sedang kulayangkan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga aku tak ingat lagi
berapa tikaman yang telah kuberikan di tubuh Nate. Sampai akhirnya aku berhenti. Aku berbaring di samping
Nate yang telah tidak bernyawa dan bersimbah darah, terengah-engah, dengan pisau yang masih ada dalam genggaman. Bau anyir segera menyeruak di udara, tapi tidak menggangguku sama sekali. Energiku terkuras banyak tapi aku merasa nikmat.
Perlahan senyumku mengembang puas. Fantasiku sudah
terlaksana.*
*Cerita ini ditulis untuk mengikuti tantangan menulis #FiksiPaedofil dari Kampus Fiksi
P.S. :
Hai! Ini tantangan baru buatku, untuk menulis cerita dengan jenis yang nggak pernah kutulis sebelumnya. Jadi, ibu guru sekaligus tutor musik Nate di sini adalah seorang paedofil sekaligus erotofonofilia (erotophonophilia). Parah banget ya? XD Semoga pembaca menyukai cerita ini.
Comments
Post a Comment