[Cerita Pendek] Maaf Tanpa Kata
Gambar dipinjam dari sini |
Satu jam yang lalu
aku tiba di pantai Kuta, pergi dari situasi tak nyaman yang kurasakan di rumah
sakit sebelumnya, lari dari rasa bersalah yang menyiksa. Kuteguk champagne dalam gelas yang tergeletak di
atas meja di samping kursi santaiku di pesisir Kuta. Biasanya ada dua hal yang
selalu sukses menenangkanku. Champagne dan
pesona pantai. Tapi tidak hari ini. Keduanya gagal mengatasi pedihku, pun tak
berhasil mengusir penyesalan dan ketakutan yang kualami.
Aku kembali ke
pantai untuk melihat pesona Kuta di sore hari. Aku suka saat langit membiaskan
cahaya jingga dan ungu di cakrawala. Seperti ada beban yang terangkat mataku
melihat salah satu kecantikan Indonesia. Tapi tidak hari ini. Hal lain yang
kusukai dari pantai adalah hawa udara laut yang begitu khas tercium. Sambil
memejamkan mata kubiarkan bau asin laut memenuhi setiap rongga dalam
paru-paruku. Biasanya setiap kali karbon dioksida kuembuskan keluar, seketika
dadaku terasa lebih lengang. Tapi tidak hari ini.
Tidak banyak yang
bisa kulakukan sambil mengamati langit Kuta di sore hari, selain sesekali
memainkan pasir pantai di sela-sela jari kaki atau menuliskan namaku dan
sahabat-sahabatku sejak kecil di atas pasir.
Sarah. Mike. Caitlin. Jodi.
Sekali lagi aku
mengernyit. Sebulir air mata yang luluh cepat-cepat kuhapus dengan punggung
tangan. Lagi-lagi aku teringat akan sosok Caitlin yang teronggok tak berdaya di
atas ranjang kamar rumah sakit tadi. Lalu ingatanku merekam ekspresi wajah Jodi
yang cemas tapi masih tetap menunjukkan ketenangan luar biasa. Kemudian
memoriku memutar raut wajah Mike yang setengah histeris melihat yang terjadi
pada tunangannya.
Dan semua ini
terjadi karena aku.
“Sarah?”
Selama beberapa
detik aku terdiam, mengira bahwa suara yang begitu dekat di belakangku hanya
ilusi. Tapi begitu sadar, aku tersentak, kemudian membalikkan tubuhku dengan terkejut.
“Jodi?!” Gawat! Apa
dia memperhatikan aku sejak tadi? Apa dia melihat kalau aku hampir menangis?
Jodi menyeringai
sebagai respon. “Mike bilang kamu butuh udara segar. Aku langsung tahu kamu
pasti ada di sini. Kamu pernah bilang pantai selalu berhasil menentramkan kamu,
bukan?”
“Well. Tidak kali ini.” Aku mengangkat
bahu.
“Kamu tadi
menangis karena Caitlin?”
Sekali lagi aku
mengangkat bahu dengan air muka muram.
“Dia pasti akan baik-baik
saja,” ucap Jodi dengan tenang.
Aku meringis. Kalimat
yang dilontarkan Jodi semakin mengirisku. Jadi Caitlin masih belum sadarkan
diri juga. Semua orang bilang dia akan baik-baik saja. Tapi aku ragu apakah aku
masih punya keyakinan sebesar itu? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Caitlin,
aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
Kukatupkan bibirku
rapat-rapat. Selama beberapa saat aku dan Jodi tidak berucap sepatah pun. Kami
seperti tenggelam dengan pikiran masing-masing. Kupandangi segelintir anak-anak
laki-laki dan perempuan yang masih asik membangun istana pasir dan bermain
dengan ombak tak jauh dari pinggir pantai. Tanpa menghiraukan teriakan orangtua,
mereka saling mengejar satu sama lain sambil sesekali tertawa.
Aku memandang
dengan tatapan kosong. Tubuhku seperti mengawang. Rohku serasa hilang separuh.
Aku tidak tahu apakah ini efek champagne yang
kuteguk? Atau rasa sakit di hatiku yang terlalu besar membuatku nyaris mati
rasa begini?
“Tapi entah
kenapa...” Mendadak Jodi melanjutkan ucapannya sambil menatap ke arah matahari
yang hendak masuk ke peraduannya. “...aku merasa kamu menangisi sesuatu yang
lain.”
Dengan
keterkejutan yang tak bisa kusembunyikan, aku menoleh menatap laki-laki itu.
Mendadak aku mengingat percakapan antara Caitlin dan aku di kamar hotel kemarin
malam.
“Kamu bilang kamu
mau melakukan apa?!” seruku sambil membelalakkan kedua mata lebarku. Aku tidak
percaya Caitlin baru saja memintaku membantunya untuk pura-pura tenggelam besok
di laut karena ingin melihat apakah Mike yang punya ketakutan akan air bakal
menolongnya atau tidak.
“Iya. Kamu tahu kan
sebentar lagi aku bakal menikah dengan Mike. Aku harus tahu apa dia
sungguh-sungguh atau tidak terhadapku. Please,
Sarah. Kamu harus menolong aku. Ya?”
Demikian akhirnya
hari ini kami menjalankan rencana yang hanya diketahui oleh Caitlin dan aku.
Kami berdua akan berenang di laut bersama karena Mike tidak pernah mengizinkan
kami, anak-anak perempuan, berenang sendiri-sendiri. Lalu kami akan memisahkan
diri dan Caitlin akan berpura-pura tenggelam sementara aku berpura-pura tidak
melihatnya. Kami tahu Mike yang punya ketakutan akan air sesekali akan
mencari-cari sosok kami berdua di laut untuk memastikan tidak ada bahaya yang terjadi.
Dari situ kita akan lihat, apakah Mike bakal menolongnya atau tidak.
Tapi ada satu hal
yang tidak diketahui oleh Caitlin, bahwa aku berencana membuatnya betul-betul
tenggelam di laut Kuta. Aku menarik kakinya dari dalam air dan membuatnya
tenggelam. Ya, aku membiarkan amarah, dengki, dan keegoisan menuntunku untuk
menyakiti sahabatku sendiri dan melukai laki-laki yang paling kusayangi di
dunia ini.
Kupeluk kedua
kakiku dan kubiarkan air mataku membanjiri pipi dan jatuh ke atas pasir.
Kubiarkan orang-orang di sekeliling mulai menatap dengan sorot mata ganjil.
Benar. Aku memang
tidak bisa menerima pertunangan mereka bedua. Aku berusaha menekan perasaan
cemburu dan kesalku pada Caitlin. Tega-teganya dia menerima perasaan Mike
padanya sementara hampir setiap malam ia yang menjadi tempat curahan hatiku
tentang Mike. Dan ketika aku sudah mulai menerima hubungan mereka, gadis itu
malah merencanakan skenario semacam ini denganku, seolah-olah mengejekku dengan
memperlihatkan bahwa perasaan Mike padanya begitu besar.
“Tapi yang paling
menyakitkan...” Kuusap pelan kedua pipiku, sementara Jodi sedari tadi
mendengarkan ceritaku tanpa menyela sekali pun. “Yang paling menyakitkan adalah
alih-alih merasa senang, aku justru merasa hampa. Yang paling membuatku sakit hati
adalah, aku justru semakin merasa pedih mengingat perbuatanku pada Caitlin dan
Mike. Perbuatan yang kulakukan untuk menyakiti orang lain, malah berbalik
menyakiti diriku sendiri.”
Senja mulai
berganti malam. Langit jingga pantai Kuta seolah hanya menjadi saksi ceritaku
kepada Jodi. Begitu ceritaku usai, matahari pun bersembunyi di bawah garis
horizon.
“Aku mengerti
alasanmu melakukan hal ini, meski aku tidak akan pernah membenarkan
perbuatanmu.” Jodi menggeleng tegas. “Tapi yang terpenting, Sarah, kamu sudah
menyesali perbuatanmu. Mulai sekarang kamu harus berdamai dengan perasaanmu
sendiri, karena sahabat adalah seseorang yang penting yang harus kita jaga. Lupakanlah
yang terjadi hari ini. Sahabat di atas cinta, bukankah prinsip itu yang selama
ini kita pegang?”
Aku menelan ludah.
“Cait sempat melihat aku yang menarik kakinya. Saat dia sadar, dia akan tahu
kalau aku yang menyebabkannya menjadi seperti itu.
“Tapi jangan salah
sangka,” tambahku cepat-cepat. “Aku bukannya takut kalau aku akan dilaporkan ke
polisi. Justru sebaliknya, aku tidak keberatan kalau dia membenciku. Aku pantas
menerima itu.”
Ya, aku pantas. Ucapan
itu terasa pahit, tapi memang demikian keadaannya.
“Kamu salah. Cait sama
sekali tidak membencimu.”
Aku terdiam
sejenak. “Darimana kamu tahu?”
“Karena dia
sebenarnya sudah sadar sejak tadi dan aku ke sini untuk memberitahumu. Tapi
melihatmu menangis seperti tadi, aku jadi penasaran.” Aku membulatkan kedua
mataku dan ternganga mendengar kata-kata Jodi. Lalu ia kembali mengatakan
kalimat yang membuatku lebih tak percaya lagi. “Tebak siapa yang ia cari waktu
membuka matanya? Dia mencari kamu.”
Mata lebarku
semakin membesar. Dan aku mulai terbata-bata. “Hah? T-tapi.. Tapi bagaimana.. Bagaimana
bisa dia tidak membenciku?”
“Yah, soal itu aku
tidak tahu.” Jodi mengedikkan bahu. “Tapi yang jelas, dia juga merasa bersalah
padamu, karena di rumah sakit tadi dia bilang, ‘Aku berhutang banyak pada
Sarah, karena keegoisanku, karena aku telah menjadi sahabat paling jahat
untuknya. Hatinya pasti jauh lebih sakit dibandingkan dengan sakit fisik yang
kualami ini.’”
Setelah mendengar
kalimat Jodi barusan, dengan sigap aku berdiri dan langsung berlari ke arah parkiran
mobil, bersama Jodi di belakangku. Atas perintahku, Jodi berusaha menyetir
secepat yang ia bisa. Aku tidak mau menunda barang sedetik pun.
Begitu sampai di
kamar inap tempat Caitlin dirawat, aku melihat Mike sedang berbincang ringan
dengan Caitlin dengan wajah penuh kelegaan. Dan entah bagaimana, kelegaan itu
langsung menular padaku. Menjalari tubuhku dari ujung kaki ke ujung kepala.
Segala beban yang kupikul serasa terangkat detik itu juga.
Jodi langsung
menarik Mike keluar ruangan, menyisakan aku dan Caitlin yang tengah menatapku
berdiri di ambang pintu dengan senyum lemah dan wajah sepucat kapas. Aku segera
memeluk sahabatku itu dan mulai menangis. Aku menangis sampai sesenggukkan.
Sampai aku tidak sanggup mengucapkan sepatah pun. Aku hanya menangis dan
meluapkan rasa sesal, rasa senang, dan rasa syukur yang menggelegak di dada.
Syukurlah, Tuhan.
Syukurlah dia selamat. Rasanya tidak ada lagi hal di dunia ini yang lebih
penting ketimbang keselamatan nyawa gadis ini.
Aku juga bisa
merasakan air mata Caitlin merembes di bahuku. Kami menangis bersama malam itu,
tanpa seorang pun dari kami membuka mulut untuk bicara. Tapi kami berdua
sama-sama tahu, kata maaf sudah terlontar tanpa kata dan hanya perdamaianlah
yang kami inginkan malam itu.
N.B.:
Total jumlah kata : 1348 kata
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
N.B.:
Total jumlah kata : 1348 kata
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
Comments
Post a Comment