Why Writing?
Kalau diberi
pertanyaan tentang apakah hal di dunia ini yang mau kulakukan meski tidak
dibayar, jawabanku—tanpa keraguan sedikit pun—adalah menulis. Well, sejujurnya aku pernah mendapat pertanyaan
ini, tapi waktu itu jawabanku bukan menulis. Soalnya pada saat itu aku belum
menyadari passion-ku yang
sesungguhnya.
Baru awal tahun
ini saja sebuah realita menamparku, menyadarkanku bahwa selama ini passion-ku adalah hal yang sering
kulakukan secara rutin sejak aku kecil, bahwa passion-ku selama ini berada dekat denganku, tapi tidak kusadari. Terus
terang aja aku merasa rada lemot soal ini. Yah, sebenarnya aku merasa sangat
lemot sih soal ini. Maksudku, selama ini aku berusaha mencari dan mencoba
berbagai macam hal dan kegiatan yang kupikir mungkin merupakan passion yang selama ini belum pernah
kutemukan. Bukan berarti aku menyesali waktu yang kugunakan untuk mencoba semua
itu. Pada akhirnya, semua kegiatan itu menjadi bekal pengetahuan dan kemampuan
lain yang tidak kalah menarik dan berguna kok.
Hanya saja, semua
kegiatan itu tidak terasa tepat.
Ibaratnya seperti
sedang mencari pasangan hidup. Ada yang tepat. Ada yang tidak tepat. Dan aku
seperti belum menemukan orang yang kucari-cari. So, pada saat aku menyadari bahwa menulis sudah merupakan bagian
dari hidupku, pada saat itulah aku merasa tepat, benar, dan ingin melakukannya
sampai aku tidak bisa lagi.
Oke. Jadi,
bagaimana mungkin aku bisa tidak menyadarinya sejak awal? Padahal aktivitas ini
sudah kulakukan sejak kecil. Aku tidak begitu ingat kapan tepatnya aku mulai
menulis. Tapi sejak SD aku memang selalu senang mendapatkan diary. Aku menuliskan banyak hal di
dalamnya. Bahkan hingga aku menapaki bangku perguruan tinggi, aku masih menulis
diary juga loh, hanya saja berubah
menjadi bentuk digital di dalam laptop akibat desakan kemajuan teknologi. Waktu
SMP aku membuat cerita pertamaku, yang didasarkan pada mimpi! *jenjeeeeng *Mendadak berasa mirip Stephanie Meyer Sebenarnya
itu hanya sebuah mimpi singkat. Hanya sekitar satu atau dua adegan. Tapi
melalui mimpi itu imajinasiku berkembang menjadi rangkaian cerita yang kutuang
dalam bentuk hitam di atas putih. Aku menuliskannya di kertas buku tulis. Total
halaman : 30!
Bagaimana mungkin
aku tidak menyadarinya sejak awal? Padahal aku tahu jika ada satu hal yang
tidak bisa berhenti kulakukan meski berusaha sekuat tenaga, sudah pasti itu
menulis. Serius. Waktu mulai kuliah, aku mulai diteror dengan serangkaian
tugas-tugas yang membuatku syok berat. Tugasnya tidak berjumlah banyak. Tapi jelas
membutuhkan waktu banyak untuk bisa menyelesaikannya. Menurutku jenis tugas beginianlah yang lebih melumpuhkan
mental. Coba saya bayangkan. Satu pekerjaan bisa dikerjakan berhari-hari,
bahkan berbulan-bulan. Rasanya seperti mengerjakan sesuatu yang tidak ada
habisnya dan tidak akan pernah usai. Dibandingkan dengan PR sekolah, biarpun
banyak, aku masih bisa melihat akhirnya dan aku masih bisa yakin bahwa tugas
ini pasti bisa selesai. Sangat berbeda.
Intinya, aku jadi
sibuk berat sewaktu kuliah dan sempat menelantarkan kegiatan menulis. Tapi
seolah seperti semesta memang menciptakanku untuk menulis, terkadang ada
saat-saat di mana aku merasakan dorongan kuat untuk menulis dan tidak bisa
menahan diri untuk mengabaikan ide yang tercetus di benak. Semasa kuliah aku
membuat dua tulisan fiksi. Sisanya, lagi-lagi diary.
Nah. Ini jugalah
yang membuatku tidak habis pikir bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya sejak
awal? Karena sejak dulu aku selalu merasa lebih nyaman menyampaikan pesan
dengan menulis ketimbang bicara. Aku tidak begitu sering curhat dengan bicara
secara langsung. Hanya kalau mood-ku
sedang bagus dan hanya kalau aku memang sedang ingin. Aku lebih sering
menuliskan pikiran dan perasaanku dibanding membicarakannya dengan orang lain.
Kalau menurut psikologi, ini disebut expressive
writing—yang merupakan salah satu cara meredakan stress.
Dan kuakui juga, slogan
“menulis membuatku merasa hidup dan merasa normal” dan “aku tidak akan menjadi
gila selama aku masih bisa menuliskan semuanya” (slogannya kubuat sendiri
barusan) kuyakini benar merupakan caraku menjalani hidup dan berdamai dengan
segala masalah. Oh ya, masalahnya tidak langsung tuntas memang. Tapi dengan
pikiran yang lebih tenang aku bisa melihat pokok permasalahan dari sudut
pandang berbeda yang jauh, jauh lebih baik.
Tapi meski aku
tahu aku terlambat banget menyadarinya, aku tidak gimana-gimana juga kok. Aku
cukup senang pada akhirnya bisa menemukan apa yang kucari-cari. Memang sih,
andai lebih cepat disadari, pastinya aku punya waktu lebih banyak untuk mengasah
talenta ini. Tapi tidak apa-apa. Karena kali ini aku sudah menetapkan hati
bahwa apa pun keadaannya, aku tetap akan memperjuangkannya.
Comments
Post a Comment