The House is on Fire
Gambar diambil dari sini. |
Kalimat
yang menjadi judul tulisan ini menggambarkan apa yang kualami hari ini. Pagi
ini. Di rumahku sendiri. The house is (literally) on fire. Kebakaran, man!
Gila!
Mungkin itu kata yang bisa kuucapkan menanggapi perkara yang terjadi tadi pagi.
Padahal
pagi ini dimulai dengan cukup baik. Yah, lumayan lah. Aku baru pulang dari
rumah teman jam 10 pagi tadi karena menginap dan langsung duduk manis membaca
buku novel yang kupesan secara online yang
baru saja sampai semalam. Lalu tak lama adikku pulang dari sekolah. Dan kami
bertiga (aku, adikku, dan ibuku) melakukan aktivitas kami masing-masing (aku
membaca, ibuku masak, adikku sibuk mengutak-atik smartphone) sambil melayangkan pandangan mata kami ke berita di
televisi.
Hari
ini saluran televisi masih sibuk menyiarkan berita, acara TV show, talkshow, video clip dari
artis sekaligus komedian tanah air yang cukup terkenal yang baru saja
dikabarkan telah tiada kemarin. Dan di sinilah pangkal masalahnya. Aku dan
adikku yang memang melakukan aktivitas kami di ruang tamu bisa dengan mudah
ber-multitasting sambil menonton TV.
Tapi ibuku rupanya berusaha ber-multitasking
juga dengan mondar-mandir dari dapur
ke ruang tengah untuk melihat berita tentang artis ini.
Mulanya
semua baik-baik saja. Ibuku hampir menyelesaikan masakannya yang terakhir,
yakni gorengan tahu dan tempe. Aku yang tengah asyik membaca mendadak tersentak
lantaran adikku menjerit histeris, “Mami! Mami!” Posisi dudukku yang
terhalang tembok membuatku tidak bisa langsung melihat api itu, berkebalikan
dengan posisi duduk adikku. Dan selama sepersekian detik pertama kukira adikku
sedang melihat kecoak, kucing, atau mahkluk-mahkluk lain yang ditakutinya itu
(karena jenis jeritan yang dilontarkannya tidak jauh beda dengan jeritannya ketika
ia melihat oknum-oknum yang kusebutkan tadi).
Dan
bodohnya, selama sepersekian detik selanjutnya, aku berusaha mencari-cari di
lantai, benda apa sih yang membuat adikku menjerit-jerit sebegitu hebohnya.
Tapi aku kesulitan juga karena tepat setelah jeritan adikku, ibuku juga
melakukan gerakan panik memutar-mutar tubuhnya seolah mencari-cari sesuatu.
Lalu
begitu ibu dan adikku berderap menuju dapur, aku menyusul mereka dan barulah
aku melihatnya. Kobaran api yang besar sekali. Mirip dengan kobaran api yang
kulihat di depan rumahku kalau ada tetangga yang membakar sampah. Atau mirip
dengan kobaran api unggun yang biasanya ada di tempat-tempat camping. Bedanya, kali ini aku
melihatnya di atas komporku. Di dapur rumahku.
Dengan
panik ibuku juga berteriak, “Cepet! Cepet!” sambil lari ke sana kemari mencari
kain. Ia berusaha memukul-mukulkan kain itu ke apinya supaya padam. Celakanya, jilatan
apinya malah tambah besar. Aku bahkan sudah tidak bisa melihat panci-panci masak
itu lagi lantaran sudah tertutup api. Adikku yang sedari tadi melihat terlalu
panik untuk melakukan apa pun. Kulihat ia sudah mencari kain dan memeganginya
tapi ia hanya berdiri ketakutan di dekat ibuku. Kala apinya membesar dia hanya
bisa meneriakkan dua kata. Atau lebih tepatnya nama. “Tuhan Yesus! Tuhan Yesus!
Tuhan Yesus!”
Yah,
sebenarnya deskripsi panjang lebarku di atas baru menggambarkan kejadian yang
berlangsung selama 5 detik. Melihat ibu dan adikku berada dekat sekali dengan
api itu dan berada dalam bahaya maut yang cukup dekat, otakku yang biasanya
lambat bekerja mendadak meningkatkan kecepatan loading-nya berkali-kali lipat. Di sebelah kiriku ada kamar mandi
dan aku ingat ada ember besar berisi air yang biasanya memang diletakkan di
sana.
Secepat
kilat aku membanting pintu kamar mandiku dan langsung menemukan benda yang
kucari. Dengan kasar (dan bahkan hampir tidak sadar sampai kejadian ini
selesai) kubanting gayung yang ada di dalamnya ke lantai. Laksana Goliat yang siap
maju berperang, kadar kekuatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya mendadak mengaliri
sekujur badan, rasanya setara dengan kekuatan raksasa itu. Kalau biasanya
tubuhku lembek sekali seperti agar-agar, detik itu juga aku merasa otot-ototku
yang tersembunyi tiba-tiba muncul keluar karena menjinjing ember yang berat begitu
pun serasa seperti menenteng kandang anak anjing yang baru lahir.
Namun
begitu aku nyaris tiba di dapur bersama emberku, api sudah padam dan
meninggalkan jejak asap abu-abu pekat dan bau hangus ke mana-mana. Adikku
langsung mengempaskan diri dengan lemas ke lantai dan ibuku berdiri dengan
ekspresi wajah seperti masih belum percaya kalau kami semua baru lolos dari
jemputan maut.
“Makanya
kalau masak tuh jangan pernah ditinggal, Mi. Jangaann.” Setelah mengucapkannya
adikku mulai terisak. Dia memang selalu terisak setiap kali ada kejadian yang
nyaris merenggut nyawa begini.
Aku
melepaskan emberku ke lantai dan merasakan tubuhku gemetaran hebat dari tangan
sampai kaki. Dengan kaku kugerakkan kakiku yang sudah mirip robot itu mendekat
ke adikku, yang langsung dipeluknya sambil menangis. Dengan tangan yang masih
gemetaran aku mengusap-usap kepalanya. Ibuku masih terlalu panik untuk
melakukan hal-hal menenangkan semacam ini. Maklumlah. Ia berada di garis depan dan
dengan gagah telah menyelesaikan masalah kami ini. Sementara aku, sebagai
pahlawan kesiangan yang gagal membantu memadamkan api cuma bisa melakukan hal
ini. Menenangkan jiwa korban-korban (atau tepatnya mantan calon korban) yang
terguncang dan menanyakan apakah ada yang sakit dan sebagainya.
Well, alasan lainnya karena di
rumah ini aku yang memegang peran ‘kakak’. Kalau adik menangis, tentu kakak
yang harus repot memeluk dan menepuk-nepuk kepalanya kan? Setidaknya menurutku,
kakak yang baik harusnya begitu, tak peduli sebenarnya si kakak sendiri tidak
kalah terguncangnya. Maka akulah yang harus menguatkan hati dan memeriksa
kondisi semua prajurit usai berperang. Ya kira-kira begitulah analoginya.
Untungnya,
adikku tidak kenapa-kenapa dan ibuku hanya terkena sedikit luka bakar yang
langsung diberi salep. Sungguh, kematian serasa tak jauh dari kami saat itu.
Dan aku yakin cuma karena mujizat dan karena Tuhan masih belum mau melihat kami
semua mejeng di surga saat inilah yang membuat kami semua masih selamat.
Dan
seperti itulah mujizatNya bekerja. Terima kasih, Tuhan.
Comments
Post a Comment