Cerita Empat Belas Februari : Teori tentang Si Eks
Gambar diambil dari sini. |
Merasa familiar dengan statement di atas? Yah, kalau
kita mem-follow akun Twitter yang
rajin nge-tweet berbagai macam quotes galau, atau akun Instagram yang isinya quotes yang dibuat dalam versi gambar
yang juga biasanya membuat galau, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan quotes tersebut.
Aku
menyebutnya teori tentang si eks alias mantan (pacar maupun HTS maupun gebetan).
Kenapa kusebut teori? Yah, karena sudah ada penelitian yang menunjukkan hal
tersebut. Bahkan di artikel yang kutemui dari sini mengatakan kalau biasanya orang-orang yang tidak bisa berteman dengan mantannya adalah mereka yang putusnya sepihak. Namun yang namanya teori itu tidak mutlak kan? Aku pribadi setengah
percaya setengah tidak.
Aku
setengah percaya karena berdasarkan pengalamanku (bukan berarti aku sudah
menjadi semacam expert atau apa tapi
beberapa pengalaman tidak mengenakkan dengan lawan jenis tentu sudah
cukup membuatku belajar banyak sekaligus menjadi tahan banting) dengan
mantan, aku sendiri masih setengah canggung kalau harus bertemu tatap muka dan
mengobrol. Well, alih-alih menyapa
kurasa aku hanya akan berlagak tidak melihat apapun. Kecuali dia yang menyapa
duluan. Mungkin aku akan menoleh dan memasang wajah pura-pura terkejut seperti
bertemu teman biasa dan berusaha mengusir rasa tidak nyamanku sambil berbincang
singkat, sebelum aku dengan sopan meminta izinnya untuk pergi dari situasi awkward tersebut. Yah, terkadang aku
bisa sangat pandai berpura-pura. Terkadang.
Nah, tapi
aku setengah tidak percaya juga. Ini karena aku sudah melihat bukti yang
terpampang di depan mukaku kalau memang ada orang-orang di dunia ini yang
betul-betul bisa menguasai situasi dan perasaan mereka sendiri untuk bisa
menjaga hubungan baik dengan mantan NYARIS seperti saat sebelum mereka pacaran.
Bukti-bukti ini adalah teman-temanku sendiri.
Aku
memiliki teman-teman satu SMA yang terdiri dari sekitar 13 orang. Di dalamnya
sudah terdapat berbagai macam kisah cinta masing-masing. Namun ajaibnya,
terlepas dari segala masalah kisah cinta ini, kami semua tetap bisa berteman,
rajin berkumpul meski sudah 4 tahun lamanya kami lulus SMA, dan tetap memiliki
kualitas pertemanan seperti masa SMA. Sejujurnya sudah lama sekali aku
menyimpan pertanyaan ini. Bagaimana mereka melakukannya?
Tadinya,
merujuk kepada quotes di atas,
kupikir mungkin saja teman-temanku yang dulunya pernah saling menjalin hubungan
tetapi sekarang malah sudah mampu cekikikan bersama ini semasa jadian dulu
tidak pernah benar-benar saling menyukai. Tapi ternyata tidak juga. Menurut
salah satu temanku, dia dulu sayang pada mantannya itu. Dan ketika putus, itu juga terjadi secara sepihak. Jadi? Kok bisa?
Aku akan
menceritakan pertemuan kami yang terjadi baru-baru ini. Pertemuan di hari
Valentine, 14 Februari 2015 lalu. Hari itu yang hadir dari peer group kami adalah 13 orang ditambah 1 orang pacar dari teman
kami. Ada beberapa pasangan, cinta segitiga, maupun cinta segiempat yang akan
kujabarkan di sini. Omong-omong, aku sudah meminta izin pihak-pihak yang akan
diceritakan kisahnya dalam tulisan ini. Dan aku berjanji untuk tidak menuliskan
nama maupun inisial mereka. Oleh karena itu, aku membuat kode huruf untuk
memudahkan identifikasi.
Oke. Yang
akan kuceritakan pertama adalah temanku, yakni oknum X (♀), oknum Y (♂), dan
oknum Z (♂). Oknum X adalah teman kami yang membawa pacarnya di pertemuan
kemarin. Kami tahu dia sudah sempat pacaran dari pagi, jadi mulai dari jam 3
sore ke bawah, pacarnya itu harus berbagi jatah jam dengan kami-kami ini. Untuk
selanjutnya, pacar oknum X akan disebut oknum Q (♂).
Semasa
SMA Y dan Z pernah menjalin hubungan dengan X. Di waktu yang berbeda, tentu
saja. Biar laku, temanku ini tidak playgirl
kok. Akan tetapi, Y dan Z merupakan dua orang yang sangat akrab di peer group kami. Jika dikumpulkan,
mereka berdua bisa jadi duo lawak terkocak yang pernah ada. Namun kalau
dipisah, masing-masing akan jadi lebih pendiam. Nah, sohib banget kan mereka
itu? Kenyataan bahwa mereka pernah jatuh cinta pada cewek yang sama tidak
lantas membuat mereka menjadi canggung atau apa. Bahkan sepanjang waktu makan
siang kami kemarin, mereka justru terlihat sangat akrab dengan oknum Q. Ya, dua
cowok yang pernah naksir dan jadian dengan cewek yang sama berbincang-bincang dengan
pacar baru dari cewek mantan pacar mereka, bahkan sampai menertawakan sesuatu
hal bersama-sama. Keren sekali bukan? Kurasa aku tidak akan pernah mengerti perasaan
dan pikiran para cowok ini.
Next! Ini tentang temanku yang lain
yang bernama oknum A (♀), oknum B (♂), dan oknum C (♀). Ini jauh lebih seru. Soalnya
begini, si oknum A dan B semasa SMA pernah pacaran sebentar. Lalu pemutusan
terjadi secara sepihak. Aku tahu soalnya si oknum B diam-diam masih memendam
rasa untuk si oknum A. Aku tidak akan pura-pura buta. Jelas sekali terlihat di
setiap kesempatan bertemu si oknum B masih mencuri-curi kesempatan untuk bisa
rada dekat dengan si oknum A. Sementara si oknum A, yah, sayangnya dia
betul-betul menganggap si oknum B sebagai teman yang baik. Lalu si oknum C
rupa-rupanya sudah menyimpan rasa sejak lama pada si oknum B. Aku salut dengan
kesetiaan cewek ini. Soalnya, dari mulai si oknum B belum pacaran, lalu jadian
dengan si oknum A, lalu sampai putus, bahkan hingga sekarang, dia masih punya
rasa dengan si oknum B.
Yah,
bukannya aku tidak mengerti. Memang sih, kuakui si oknum B ini punya tampang
yang lumayan oke. Selain itu, postur tubuhnya tinggi yang membuatnya lebih
keren. Dan alasan yang bikin aku sangat mengerti kenapa si oknum C ini sebegitu
susahnya move on dari si oknum B
adalah karena cowok ini punya manner yang
sangat baik. Dia nggak ragu-ragu untuk menolong temannya. Pernah satu kali si
oknum C yang tidak mengenal sebuah lokasi di Jakarta bertanya pada si oknum B
(kami semua tinggal di Tangerang). Namun cowok ini menawarkan diri untuk
mengantarkan si oknum C ke tempat tersebut, menunggunya selama 3 jam (kalau aku
tidak salah), dan mengantarnya pulang kembali. Aku sendiri nyaris tidak
percaya. Dan si oknum B ini bukan jenis cowok yang ber-manner baik hanya untuk dipuja cewek-cewek. Memang ada tipe cowok
seperti itu dan aku bisa membedakannya dengan baik. Kurasa oknum B adalah cowok
paling tulus yang pernah kukenal.
Oh! Dan
omong-omong, oknum B juga tahu kalau si oknum C memendam rasa padanya, karena
si cewek ini pernah menyatakan perasaannya. Inilah yang membuatku kagum pada
mereka. Meski si oknum A sadar kalau si oknum B masih memendam rasa padanya, ia
masih bisa bersikap seperti sedang menanggapi temannya yang tidak pernah ia
pacari sebelumnya. Sementara itu, aku juga salut akan kepiawaian si oknum B untuk
tetap bersikap baik dengan oknum C. Tapi aku paling kagum dengan oknum C yang meski
sudah dengan gagah berani menyatakan perasaannya, tetap mampu bersikap seolah
ia tidak pernah menyatakan perasaannya pada cowok itu. Kemarin malah dia seperti
terang-terangan menunjukkan perhatian kepada si oknum B dengan menanyakannya akan
pesan makanan atau tidak. Itu karena cowok ini masih belum memesan makanan di
saat semua orang sudah duduk manis dengan makanan di hadapan masing-masing. Dan
bukannya aku tidak tahu juga kalau oknum C beberapa kali terlihat memalingkan
wajah saat melihat si oknum B dengan senyata-nyatanya menunjukkan kepedulian
kepada si oknum A. Untuk urusan begini aku memang observer handal. :D Dengan semua keadaan itu, oknum C tetap
berteman baik dengan oknum A.
Sayangnya
di antara semua teman-temanku, sepertinya akulah satu-satunya orang yang cukup
culit untuk berteman akrab lagi dengan mantan cowok almost-relationship-ku. Tapi aku berusaha kok. Kemarin saat
pertemuan, itulah pertama kalinya aku berjumpa lagi dengannya setelah lulus
SMA. Bisa kalian bayangkan seberapa parah awkward
moment yang kualami? Tapi sekali lihat saja, aku tahu dia juga rada awkward untuk menyapaku langsung saat
datang ke pertemuan. Jangan tanya bagaimana aku mengetahuinya. Beberapa
pengalaman tidak mengenakkan dengan para cowok sedikit banyak telah
mempertajam inderaku yang satu itu. Kalau aku sih, memang sudah motoku untuk
pura-pura tidak tahu dan hanya menoleh kalau disapa duluan. Jadilah awalnya aku
pura-pura tidak sadar kalau dia sudah datang, tapi lalu menimpali obrolannya
bersama dengan teman-teman yang lain. Saat itu aku sedang susah payah berdoa
dalam hati agar Tuhan membantuku mangatur segala emosi yang berkecamuk di hati
dan segala kecanggungan yang berkelebat di benakku, berharap aku bisa
menanggapinya sesantai mungkin. Sama seperti teman-temanku yang lain.
Namun
sepertinya Tuhan tidak mengabulkan doaku yang itu.
Saat
temanku sedang ingin cuci tangan, ia meminta izin padaku untuk berdiri
sebentar, karena posisi duduknya membuatnya tidak bisa keluar dari meja tanpa aku
menyingkir terlebih dahulu. Maka aku pun berdiri dan memutuskan untuk
menunggunya kembali seusai mencuci tangan supaya aku tidak repot untuk terus duduk-berdiri.
Karena temanku rada lama cuci tangannya (dan mana dia sambil ngobrol dulu
segala lagi), aku pun dengan ragu duduk di kursi kosong terdekatku dulu untuk
menunggu. Dan kursi itu dekat dengan kursi si eks. Bukannya aku segaja lho. Sungguh.
Bahkan kuakui aku rada menyesal telah duduk di kursi itu, karena saat duduk
baru kusadari adanya kemungkinan kalau cowok ini mengajakku ngobrol berdua. Inilah
akibatnya kalau tindakan maju duluan sebelum dipikir.
Dan dia
memang mengajakku mengobrol! Dan yah, malang memang tidak bisa ditolak. Mentalku
memang belum siap dan aku betul-betul tidak berdaya menutupi rasa canggungku.
Aku bahkan tidak menatapnya sama sekali ketika aku menjawab pertanyaannya.
Padahal sebetulnya dia cuma menanyakan pertanyaan yang sebetulnya wajar saja
ditanyakan kepada teman lama. Contohnya, “udah semester berapa nih?” (Wait, aku baru sadar kok pertanyaannya
aneh. Ya sudah jelas aku ada di semester yang sama dengannya, kecuali aku cuti
atau apa, yang hampir tidak mungkin kulakukan juga. Kurasa dia sama canggungnya
denganku.) dan “topik skripsinya apa?” (yang langsung dengan singkat jelas
padat kujawab dengan *masukkan salah satu topik skripsi yang Anda ketahui di
sini*). Begitu melihat caraku menjawab (yang omong-omong benar-benar ketus
setelah kupikir-pikir lagi), wajar saja kalau dia langsung mengangguk tersenyum
dan berhenti mencoba menyiksaku dengan tidak bertanya-tanya lagi. Oke, aku
memang cewek yang jutek.
Namun
setelah itu, ketika semua orang kembali ke meja makan dan mengobrol bersama,
aku sudah bisa dengan santai menanggapi dan bertanya padanya ketika obrolan itu
memang dilakoni oleh semua orang. Fiuh, memang cara terbaik untuk mengatasi
dilema kecanggungan saat mengobrol dengan mantan adalah dengan membaurkan
pembicaraan dengan orang lain.
Jujur
saja, ketika momen si eks mencoba berbincang denganku itu, saat itu aku
berharap pada semesta agar teman-teman yang lain tidak mengawasiku. Tapi mana
mungkin aku sebodoh itu percaya mereka tidak menguping pembicaraanku dengan si
eks. Well, sebetulnya pembicaraan itu
lumayan keras dan kami semua duduk berdekatan, jadi tidak bisa disebut
menguping juga sih. Tapi tetap saja. Aku berharap semua memori teman-temanku
tentang aku yang dulu sempat dekat dengan cowok ini dihapuskan. Mereka memang
tidak menyinggung apapun sih. Awalnya.
Tapi ada
satu orang yang dengan kurang ajarnya berani menanyakannya padaku. Dialah
temanku yang sedang cuci tangan tadi, sehingga dia tidak sempat melihat adegan penyiksaanku
oleh si eks dengan pertanyaan-pertanyaannya itu. Yah, aku tidak menyalahkannya
juga sih. Berhubung dia penulis, dia jadi sangat kepo untuk urusan begini. Oke,
teman-temanku yang bukan penulis juga kepo. Jadi pada dasarnya sebagian besar
teman-temanku memang kepo!
Jadi
temanku yang cuci tangan tadi (yang sebenarnya adalah si oknum C (♀)) bilang
begini “Eh, gue mau nanya deh. Eh tapi nggak jadi deh.” Nah, siapa yang tidak akan
kesal dengan pernyataan PHP seperti ini coba. Lalu dengan segala jurus-jurus
rayuan mautku, akhirnya dia menanyakannya juga. “Eh tapi ini jangan diambil
hati ya, karena gw cuman nanya doang.” Tuh! Semakin bikin penasaran kan? Lalu
ketika dia akhirnya bilang,”Hubungan lu sama si *nama si eks* sekarang gimana
sih?”
Ya
Tuhan. Demi langit dan bumi serta seluruh isi jagat raya, detik itu juga aku
menyesal telah membuatnya jadi bertanya. Tentu saja saat itu aku berusaha menyembunyikan
ketidaknyamananku. Kuharap saat itu dia tidak menyadari kerisihanku. “Ehm, biasa
aja kok. Udah nggak ada apa-apa. Hehe.” Cengiran yang biasanya kupamerkan untuk
menutupi perasaanku yang sebenarnya sepertinya berhasil pada si oknum C. Sepanjang
sisa malam itu tidak ada yang menyinggung apapun lagi padaku.
Inilah beberapa
kisah yang terjadi di antara peer group kami.
Meski sikapku sangat sombong pada si eks, jauh di lubuk hatiku aku juga kepengin
kok berteman dengannya lagi. Aku sedang berusaha dan aku yakin ini cuma soal
waktu untuk membuatku bisa bersikap wajar padanya. Temanku si oknum Y (♂)
bilang begini ketika kutanya mengapa dia bisa bersikap biasa seperti tidak
pernah terjadi apapun, “Ya kenapa juga harus nggak bersikap biasa? Awalnya
emang awkward banget sih, tapi
lama-lama kayak temen lagi.”
Jadi,
bisa disimpulkan, kalau kita memang punya niat, kalau memang ingin berteman
dengan mantan, itu bukan hal yang mustahil kok. Ini cuma soal waktu. Lagipula,
apa salahnya menjalin pertemanan sebanyak mungkin. Kalau kita punya mantan segudang,
masa manusia-manusia sebanyak itu mau kita jauhi semua? Tapi kalau setiap kali
melihat saja sudah sakit hati, yah lebih baik atur emosi dan jiwa terlebih
dahulu agar bisa menanggapi si eks seperti teman kita sendiri. Waktu yang
dibutuhkan bagi setiap orang untuk beradaptasi mungkin berbeda-beda, dari
rentang sejam sampai tahunan setelah putus. Tapi punya kumpulan manusia-manusia
aneh ini sebagai teman-temanku memang memberikan dampak positif pada sikapku
terhadap si eks. And I feel grateful for it.
Semoga
penggalan-penggalan kisah di atas dapat menginspirasi pembaca dengan pengalaman
bersama mantan masing-masing ya. :)
Comments
Post a Comment